REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Sebagian besar negara Timur Tengah berusaha mengambil posisi netral dalam intervensi militer Rusia di Ukraina dan tidak memihak. Mereka melakukannya dengan harapan tidak akan membuat marah Rusia maupun Amerika Serikat yang tampaknya menjadi pihak utama dalam krisis tersebut.
Beberapa mitra dan sekutu Washington telah mencoba membangun jaringan hubungan dengan Rusia atau China setelah pemerintahan Trump meninggalkan sekutunya dalam menghadapi ancaman Iran. Pemerintahan Presiden Joe Biden saat ini terus menerapkan kebijakan pendahulunya Barack Obama, yang melepaskan diri dari isu-isu Timur Tengah dan fokus pada ancaman yang dianggap mengancam keamanan nasional AS dari Rusia dan China.
Hubungan AS dengan negara-negara kawasan, selama beberapa dekade, merupakan aliansi militer dan keamanan. Timur Tengah adalah pasar yang sangat menguntungkan bagi senjata AS dan Rusia telah menjadi mitra dagang utama dan sumber senjata lain di kawasan itu.
Mesir bergantung pada senjata Rusia dan berkoordinasi dengan Moskow untuk mempertahankan kepentingannya di Libya, di mana Rusia memainkan peran penting. Selain itu, Moskow adalah mitra nyata Riyadh dalam hal pengendalian harga minyak di pasar global.
Dilansir dari Middle East Monitor, Kamis (10/3), Arab Saudi telah menolak beberapa permintaan dari Washington untuk meningkatkan produksi minyak sehingga membatasi kenaikan harga. Menurut data terbaru, harga sekarang telah melewati 119 dolar AS per barel minyak mentah Brent. Patokan internasional adalah 79 dolar AS per barel pada kuartal terakhir 2021.