REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Farid Nu'man Hasan
Suatu saat Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan hukum orang yang shalat ba'diyah Ashar. Beliau Rahimahullah menjawab:
لا نفعله ولا نعيب فاعله
“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” (Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802, Al Jaami' Li 'Ulum Al Imam Ahmad, 5/630)
Inilah adab seorang imam yang luas wawasannya, dan dewasa sikapnya. Beliau sangat paham bahwa masalah yang masih diperdebatkan ulama tidaklah pantas untuk berkata-kata pedas dan ketus kepada yang pihak yang memilih pandangan berbeda. Tidak pula sangat mati-matian memaksa orang lain mengubah pendapatnya agar seperti yang diyakininya.
Syaikh Umar bin Abdullah Kamil berkata:
لقد كان الخلاف موجودا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار: أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم. ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم.
“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau tuduhan terhadap pemahaman agama mereka lantaran perselisihan mereka itu.” (Syaikh Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam)
Imam Yahya bin Sa'id Al Qaththan Rahimahullah berkata:
ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه.
“Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.” (Imam Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/161)
Di masa pandemi ini, akhlak para imam ini sangat kita perlukan. Khususnya di saat umat Islam berselisih pandangan tentang shalat merenggangkan shaf, shalat memakai masker, lockdown masjid beberapa waktu, vaksinasi, dan masalah-masalah debatable lainnya, yang kerap memanas dalam keseharian kita baik dalam diskusi ringan atau serius, baik di ruang diskusi langsung atau medsos. Silakan seseorang meyakini sebuah pendapat, lalu dia tetap bisa menahan lisan dan tangan terhadap kehormatan saudaranya.
Sikap kita, sebagaimana yang Allah Ta'ala firmankan tentang hubungan generasi awal Islam terdahulu:
وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.’” (QS. Al-Hasyr, Ayat 10)
Wallahu a’lam.