REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks demokrasi Indonesia mengalami kenaikan pada 2021 berdasarkan rilis pengukuran The Economist Intelligence Unit pada Februari 2022. Demokrasi Indonesia naik dari peringkat ke-64 pada 2020 dengan skor 6,30 menjadi peringkat ke-52 dengan skor 6,71 dari 167 negara.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, peningkatan ini menandai skor kenaikan indeks demokrasi 10 terbaik di dunia. Meski demikian, Indonesia masih disebut negara dengan demokrasi yang cacat.
"Indonesia masih diklasifikasi sebagai negara dengan kategori flawed democracy atau negara demokrasi yang cacat atau belum sempurna," kata Titi dalam paparannya di acara Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah ke-48, Rabu (16/3).
Titi mengatakan, skor Indeks Demokrasi ini pun menempatkan Indonesia di lingkup ASEAN di posisi ketiga di bawah Malaysia dan Timor Leste. Meskipun posisinya lebih baik daripada Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Titi melanjutkan, perbaikan indeks skor demokrasi Indonesia ini terjadi pada tiga variabel pengukuran yakni keberfungsian pemerintah naik dari 7,50 menjadi 7,86; kedua soal kebebasan sipil dari 5,59 naik menjadi 6,18; dan yang ketiga partisipasi politik naik dari 6,11 menjadi 7,22.
"Tapi kita stagnan di dua variabel lainnya dari lima variabel yang diukur, stagnasi skor kita terletak pada yaitu proses elektoral dan pluralisme, dan yang kedua adalah budaya politik," kata Titi.
Untuk budaya politik ini, kata Titi, ditengarai adanya praktik jual beli suara, lalu kemudian politik kekerabatan yang masih mewarnai internal partai politik di Indonesia. Khususnya dalam melakukan rekrutmen politik.
"Salah satu yang dianggap berkontribusi pada stagnasi variabel budaya politik," katanya.
Sedangkan, faktor yang berkontribusi pada peningkatan demokrasi di Indonesia oleh The Economist adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 tahun 2020 pada November 2021 yang menyatakan undang-undang Cipta kerja sebagai inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintan dan DPR merevisinya. Menurut The Economist, ini sebagai bukti atau bentuk adanya independensi peradilan,
"Itu variabel yang membuat demokrasi kita membaik," katanya.
Sedangkan kedua, adalah politik Presiden Joko Widodo yang mengakomodasi berbagai kelompok politik dalam kabinet dinilai The Economist kondusif untuk membangun konsensus antarkekuatan politik serta dianggap sebagai kontributor perbaikan kondisi demokrasi di Indonesia.
Namun demikian, Titi memberi catatan jika terjadinya faktor pertama yakni permohonan uji materi di MK berkaitan dengan faktor kedua. Menurutnya, karena semua kekuatan politik ditarik masuk ke dalam pemerintah, maka kontrol menjadi melemah sehingga produk legislasi jauh dari partisipasi masyarakat dan produk yang dihasilkan menjadi inkonstitusional.
"The Economist hanya melihat diakomodirnya kekuatan politik yang beragam tetapi tidak melihat melemahnya kontrol akibat perilaku yang mengakomodir kekuatan-kekuatan politik tersebut sehingga melemahkan sistem kontrol dan juga pengawasan dalam praktik tata kelola pemerintahan," kata Titi.