REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Raja Yordania Abdullah akan mengunjungi Ramallah, Palestina, pada akhir bulan ini untuk pertama kalinya dalam hampir lima tahun. Yordania berupaya menurunkan ketegangan antara Israel dan Palestina menjelang bulan Ramadhan dan Paskah.
Hal tersebut disampaikan oleh seorang pejabat Palestina, seperti dikutip dari media Israel, The Times of Israel, Selasa (22/3). Pejabat itu menyampaikan, pertemuan akan menekankan pentingnya menciptakan cakrawala diplomatik antara Israel dan Palestina. "Tanpanya akan jauh lebih sulit untuk mengendalikan situasi di lapangan," tutur dia.
Yordania belum mengomentari kunjungan tersebut. Namun, kekhawatiran Yordania terkait ketegangan Palestina dan Israel menjelang Ramadhan dan Paskah menjadi agenda utama saat Raja Abdullah menjamu Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid pekan lalu di Amman.
"Kami sepakat bahwa kami harus bekerja sama untuk menenangkan ketegangan dan meningkatkan pemahaman, terutama menjelang bulan Ramadhan dan Paskah," kata Lapid dalam sebuah pernyataan setelah pertemuan di Istana Al Husseiniya.
Beberapa pekan terakhir telah terjadi peningkatan kekerasan di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, termasuk beberapa serangan penusukan oleh warga Palestina yang menargetkan pasukan keamanan Israel. Juga beberapa warga Palestina yang ditembak mati oleh pasukan Israel, beberapa selama bentrokan dengan kekerasan.
Pembacaan dari Royal Hashemite Court menegaskan kembali poin pembicaraan reguler Yordania terhadap konflik tersebut. Raja Abdullah menegaskan kembali perlunya meningkatkan upaya untuk mencapai perdamaian yang adil dan komprehensif berdasarkan solusi dua negara yang menjamin pembentukan sebuah negara Palestina yang merdeka, berdaulat, dan layak, pada garis 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Raja Abdullah juga menyerukan pelestarian status quo di kompleks Temple Mount/Masjid al-Aqsa di mana Yordania berfungsi sebagai penjaga. Dia juga meminta Israel untuk menghentikan tindakan sepihak yang merusak solusi dua negara.
Pembicaraan damai antara Israel dan Palestina telah hampir mati selama lebih dari satu dekade. Selain itu, Ramallah semakin frustrasi dengan posisi pemerintahan Biden dalam konflik tersebut.