Dunia sampai kapan pun tidak akan pernah menemukan keadilan yang ideal seperti yang dibayangkan orang, baik yang taat beragama maupun yang tidak taat beragama. Apalagi ada pepatah: Lain kepada lain pula tafsir soal nilai dan rasa keadilannnya.
Hari-hari ini semua orang melihat perang absurd yang terjadi di Ukraina. Rusia menyerbu negara yang bedaulat. Rusia datang menyerbu negara terbesar kedua di era Uni Soviet itu, dengan dalih macam-macam, dari soal ras hingga soal keamanan negaranya atas ancaman agresi negara Barat yang tergabung dalam Nato.
Maka, Amerika Serikat selaku bos Nato pun secara menggebu-gebu mencela agresi itu. Mereka berusaha menyingkiran Rusia melalui pergaulan internasional. Selain it, mereka juga berusaha membuat paria 'negara beruang merah' menedengan rapkan sanksi ekonomi mencekik.
Dan khusus imbas itu kepada Indonesia, Amerika Serikat berserta sekutu baratnya, meminta Indonesia untuk menyingkirkan Putin dalam gelaran KTT G-20 di Bali. Inilah yang kini membuat kelimpungan dan sekaligus dilema bagi pemerintahan Jokowi. Pertemuan itu terancam bisa tanpa Rusia, atau juga bisa tanpa Amerika dan sekutu baratnya, sehingga nanti bisa disebut bukan lagi KTT G-20, namun dapat menjadi KTT G-19, atau malah menjadi KTT G-13, bahkan bisa saja menjadi KTT G-7.
Tentu bagi Indonesia ini jelas tidak adil. KTT itu dijadikan ajang perseteruan. Apalagi saat ini pemerintajhan Jokowi kerap berkata: Indonesia adalah negara Netral! Tapi banyak pihak meragukannya, sampai di mana kentralan Indonesia sebab negara ini begitu banyak tergantung kepada luar negara.
Bahkan seperti dikatakan pengamat hukum internasional Uninversitas Muhammadiyah Yogyakarta, Nadzar El Mahfudzi, posisi Indonesia kini seakan menjadi pelanduk yang berada di antara perkelahian dua gajah. Posisi Indonesia sangat dilematis.
''Kalau membiarkan Putin datang berati dalam sisi lain mengukuhkan aliansi dengan blok China. Sedangkan, kalau Putin tak datang berati mengukuhkan aliansi dengan Amerika dan berati juga meninggalkan sekutunya yang akrab beberapa tahun terakhir ini,'' ujarnya.
Situasi seperti ini makin rumit, karena China terus mengklaim kawasan laut China Selatan sebagai miliknya. Klain ini kawasan tersebut bagi China sudah sangat serius bahkan mereka siap berperang. Indonesia pun berkali-kali protes.
Alhasil, membiarkan Putin dengan sekutunya China datang bagi Indonesia juga merugikan bagi kedaulatan negara di kawasan Natuna yang berada juga di kawasan Laut China Selatan itu. Bila nanti China serius mengklaim itu maka tak ada negara Barat yang mau membantu Indonesia. Maka lepaslah kawasan yang kaya minyak, gas, dan pusat lalu lintas barang terbesar di dunia tersebut. Nasib Timor Timur bisa terulang. Dan isi sesuai juga dengan ujaran yang sudah ada semenjak zaman Romawi bahwa pada ujungnya:" Kedaulatan negara itu berada di pucuk senjata".
Celakanya, pada situasi sekarang ini, Barat juga tak mau memperhatikan Indonesia. Akibat perang Ukraina misalnya, negara Barat lebih suka membeli gas dari China. Padahal persediaan gas Indonesia pun melimpah. Namun sekarang, 'karena menganggap bahwa Indonesai kurang penting dibandingkan China, mereka lebih memilih membeli gas di negara itu, selain gas dari kawasan Timur Tengah.
Atas situasi dilema ini, maka kemudian sosok mendiang Presiden Irak, Sadam Hussein, menjadi sebuan kenangan konkrit dan tragis atas negara yang juga pernah berada dalam situasi dilema politik dunia.
Bayangkan negara yang sempat begitu setia kepada Amerika Serikat sehingga mau mengorbarkan perang dengan Irak pada dekade 1980-an, sepuluh tahun kemudian situasi itu berbalik total. Amerika Serikat yang dahulu jadi tuannya malah datang menyerbu dengan berbagai macam dalih dari terorisme hingga adanya senjata pemusnah massal yang ternyata kemudian klaim iti tak terbukti. Situasi ini persis dengan apa yang kini dilakukan Rusia pada saat sekarang. Mereka juga tak peduli dengah hukum internasional demi menegakkan kepentingan negaranya.
Lalu apakah nanti Indonesia akan bernasib seperti Irak di masa Sadam Hussein? Ataukan akan bernasib seperti Ukraina pada saat ini yang terancam agresi dan dan perpecahan?
Jawabnya tentu saja tidak ingin. Apalagi bila nanti sampai ada pemimpin yang bernasib tragis seperti Sadam Hussein! Minimal ibarat kancil yang berada di tengah perkelahian dua ekor gajah, pemimpin Indonesia harus bisa menjadi kancil yang cerdik yang bisa menyelematkan diri dan 'rumahnya'.
Jadi apa pun itu nasib Indonesia beserta politiknya akan terlihat pada ajang KTT G-20 yang akan digelar setengah tahun ke depan di Bali. Bahkan dalam ajang KTT ini bisa akan dilihat siapa yang akan jadi presiden Indonesia pasca Pemilu 2024..!
Wallahu'alam Bisawab/