REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi ada potensi kenaikan inflasi pada April 2022 sebagai efek dari kenaikan komponen administered prices. Komponen tersebut yakni penyesuaian harga LPG non-subsidi per 27 Februari, lalu penyesuaian BBM jenis Pertamax per 1 April 2022, serta penyesuaian pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen per 1 April 2022.
Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik pada Ramadhan tahun ini. Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan jika inflasi pangan berlangsung lama akibat berdampak kenaikan garis kemiskinan.
Hal ini dikarenakan garis kemiskinan ditentukan oleh 74,05 persen makanan dan sisanya 25,95 persen non makanan, sehingga jika inflasi pangan tinggi maka otomatis jumlah penduduk miskin bertambah.
“Ini tentu saja mempunyai potensi besar kepada kenaikan inflasi pada April. Jadi ada demand yang polanya meningkat saat puasa dan Lebaran serta ada kebijakan pemerintah yang berpotensi terjadinya inflasi,” ujarnya di Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Menurutnya kenaikan inflasi akan berdampak terhadap penurunan daya beli dan menekan konsumsi masyarakat yang berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan beban pengeluaran masyarakat menengah ke bawah juga bertambah akibat kenaikan harga bahan pangan.
“Pola konsumsi masyarakat sebagian besar porsi belanjanya itu ke makanan. Jadi kalau inflasi pangan tidak bisa dikendalikan bisa dipastikan golongan bawah akan tertekan kesejahteraannya,” ucapnya.
Margo menyebut potensi peningkatan inflasi yang tinggi harus segera diantisipasi. Menurutnya ada beberapa dampak dan bahaya yang bisa timbul dari peningkatan inflasi yang tidak terkendali. Pertama, dampak pada penurunan daya beli masyarakat.
“Konsumsi rumah tangga saat ini memiliki share terbesar dari total PDB Indonesia. Hal ini tentu dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tengah masuk masa pemulihan,” ucapnya.
Kedua, inflasi yang tinggi di bahan pangan akan membebani masyarakat menengah bawah. Ketiga, inflasi yang tidak terkendali dalam jangka panjang akan menambah angka kemiskinan yang ada.
“Apalagi sebuah lembaga yakni Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk,” ucapnya.
Keempat, inflasi yang tinggi terjadi akan mengganggu kinerja mitra dagang yang akhirnya mengurangi output perekonomian. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya beban biaya produksi. Kelima, berkurangnya output perekonomian akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang akan menambah tingkat pengangguran.
“Kelima dampak ini harus bisa dihindari sebisa mungkin dengan menjaga angka inflasi tetap stabil. Tentu saja kita tidak ingin inflasi ini berlanjut karena dampaknya bisa meluas kemana-mana,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), Muhammad Edhie Purnawan menambahkan pemerintah Indonesia untuk mewaspadai hal tersebut. Dirinya menyarankan agar koordinasi antara regulator seperti Bank Indonesia dan Pemerintah perlu ditingkatkan untuk menjaga laju inflasi hingga akhir 2022.
Apalagi, ada kekhawatiran kenaikan harga-harga yang terjadi belakangan ini seperti BBM hingga minyak goreng bisa memicu inflasi 2022 lebih tinggi dari perkiraan pemerintah yang dipatok sebesar tiga persen.
"Inflasi is everyday is everywhere. Persoalan harga-harga yang meningkat, persoalan macam-macam termasuk seperti persoalan pandemi. Inflasi itu sama seperti perampok, mematikan. Jadi kita sebagai bangsa Indonesia harus mempersiapkan untuk mengantisipasi hal-hal ini,” ucapnya.
Ekonom Faisal Basri menambahkan tingkat inflasi yang tinggi akibat lonjakan harga pangan akan membuat angka kemiskinan cenderung meningkat. Bahkan, kata dia, jumlah orang miskin diproyeksikan akan kembali double digit dari posisi saat ini, single digit.
"Akan ada legacy (warisan) yang hilang kalau inflasi tinggi jumlah orang miskin akan double digit lagi. Padahal, Pak Jokowi ingin hilangkan angka kemiskinan," ucapnya.
Dia menilai, tingkat kemiskinan sangat mungkin untuk meningkat ketika inflasi tinggi karena porsi pengeluaran 20 persen masyarakat dengan pengeluaran terendah hanya untuk membeli bahan makanan. Berdasarkan datanya, sebanyak 64 persen pengeluaran masyarakat miskin habis hanya untuk membeli makanan.
Angka ini berbeda dengan 20 persen masyarakat kaya yang porsi pengeluaran belanja bahan pangan hanya 39,22 persen. Sejalan dengan itu, harga beberapa komoditas pangan pun tengah naik, seperti minyak goreng yang baik sangat tinggi. Itu semua pengaruhnya ke rakyat miskin akan besar dan memunculkan tensi sosial atau gejolak sosial," ucapnya.