REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) diminta untuk memperbaiki infrastruktur pelabuhan penyeberangan. Hal itu mengingat sebentar lagi akan memasuki musim mudik Lebaran Idul Fitri.
Seorang pengusaha penyeberangan laut, pemilik PT Dharma Lautan Utama (DLU) Bambang Haryo Soekartono mengeluhkan belum memadainya infrastruktur di pelabuhan penyeberangan di Indonesia. Padahal, kata Bambang, sebentar lagi akan memasuki musim mudik Lebaran Idul Fitri. Bambang pun meminta PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) sebagai BUMN penyedia akses transportasi publik antar pulau untuk segera berbenah.
Bambang mengungkapkan, kondisi iklim usaha kapal feri saat ini tidak sebaik sebelumnya. Karena, kata dia, kapal yang dapat beroperasi di lintasan komersial hanya sekitar 40 persen dari jumlah kapal yang tersedia. Itu tak lain karena jumlah dermaga yang tersedia di pelabuhan penyeberangan sangat minim.
"Jadinya banyak kapal yang tidak beroperasi tapi biaya tetap keluar terus. Kan meskipun gak beroperasi tetap harus keluar biaya perawatan dan banyak biaya tetap lainnya yang keluar," ujar Bambang di Surabaya, Jumat (8/4/2022).
Bambang melanjutkan, di dermaga-dermaga yang jumlahnya masih sangat minim tersebut, infrastrukturnya seringkali tidak memadai. Bambang menyebut, banyak dermaga yang ukurannya terlalu kecil dan tidak sesuai dengan ukuran atau besaran kapalnya. Artinya, kata dia, perlu adanya peningkatan kapasitas dermaga.
Menurutnya, perlu adanya penambahan dan perbaikan infrastruktur dermaga. "ASDP tidak boleh fokus penambahan kapal, tapi membangun dermaga-dermaga yang kurangdi semua lintas komersial kita. Mulai Bakau Heni-Merak Gili Manuk-Gili Ketapang, Padang Bai, dan sebagainya," ujar Bambang.
Bambang juga mengeluhkan tarif yang dinilainya terlalu murah. Bambang mempertanyakan pemerintah yang jarang melakukan penyesuaian tarif kapal feri. Ia membandingkan dengan seringnya penyesuaian tarif jalan tol. Padahal, kata dia, baik jalan tol maupun kapal penyeberangan merupakan alat transportasi yang sama-sama pentingnya.
"Jadi jangan hanya tol saja yang cepat dilakukan penyesuaian tarif. Kalau dilihat, kalau jalan tol putus, masyarakat masih bisa milih jalur biasa. Kalau kapal feri yang terhambat, berhenti total. Mau lewat mana?" kata Bambang.
Bambang juga mempermasalahkan beban biaya sertifikasi keselamatan yang dalam proses pembuatannya dirasa tumpang tindih. Kemudian juga terkait penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dirasa cukup besar membebani industri feri.
"Jangan angkutan laut dijadikan korban PNBP, angkutan darat juga harus dikenakan PNBP yang setara dengan angkutan laut. Sekarang pnbp yang dicollect kemenhub 60 persen dari angkutan laut, padahal kendaraannya lebih banyak angkutan darat," ujar Bambang.