REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu menyatakan hasil pertanian hanya dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dari tarif PPN atau 1,1 persen. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan PPN atas barang hasil pertanian tertentu (BHPT) bukan merupakan pajak baru.
“Pengenaan PPN atas barang hasil pertanian tertentu ini juga bukan pajak baru, sudah dikenakan PPN sejak 2013 dengan tarif 10 persen,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (12/4/2022).
Neil menjelaskan tata cara pemungutan PPN terhadap objek pajak ini terus disederhanakan, termasuk melalui PMK-64/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu yang mulai berlaku 1 April 2022. Dalam aturan tersebut, PPN BHPT dipungut dengan besaran tertentu yakni 1,1 persen final dari harga jual, yang bertujuan memberikan rasa keadilan dan menyederhanakan administrasi perpajakan.
“Selain latar belakangnya karena telah terbitnya UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan), beleid ini berkomitmen tetap memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, serta menyederhanakan administrasi perpajakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban bagi pengusaha yang menyerahkan barang hasil pertanian tertentu,” jelasnya.
Dalam PMK Nomor 64 Tahun 2022, pemerintah mengatur BHPT yang merupakan objek pajak terdiri dari cangkang dan tempurung kelapa sawit, biji kakao kering, biji kopi sangrai, kacang mete, sekam dan dedak padi, serta klobot jagung yang semuanya telah melewati proses seperti dipotong, direbus, diperam, difermentasi ataupun proses lanjutan lainnya. Selanjutnya, PPN terutang dipungut menggunakan besaran tertentu sebesar 1,1 persen final dari harga jual dan pengusaha kena pajak (PKP) wajib menerbitkan faktur pajak saat penyerahan BHPT.