REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memberikan sinyal kenaikan tarif listrik pada tahun ini. Arifin beralasan karena beban APBN untuk membayar kompensasi ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah semakin berat.
Dalam rapat bersama Komisi VII DPR, Arifin menjelaskan dengan kenaikan harga minyak dunia dan kurs, maka akan menambah beban APBN dalam sisi subsidi maupun pemberian kompensasi kepada BUMN yang menjual barang dengan harga ditahan. Untuk itu, kata Arifin perlu langkah strategis untuk mengurangi beban APBN.
"Dalam jangka pendek ini, tarif adjustment akan dilakukan tahun ini," ujar Arifin, Rabu (13/4/2022).
Tarif adjustment maksudnya adalah mekanisme mengubah dan menetapkan naik atau turunnya tarif listrik ke masyarakat sesuai dengan parameter ekonomi yaitu kurs rupiah, Indonesian Crude Price (ICP) dan harga batubara acuan serta inflasi.
"Dengan penetapan tarif adjustement ini maka APBN bisa menghemat Rp 7 - 16 triliun," ujar Arifin.
Sebagaimana diketahui, besaran tarif rata-rata saat ini untuk pelanggan rumah tangga non subsidi (tarif adjustment) sebesar Rp 1.445 per kWh. Besaran tarif ini jauh lebih murah dibanding tarif listrik rumah tangga di Thailand yang mencapai Rp 1.597 per kWh, Vietnam Rp 1.532 per kWh, Singapura Rp 2.863 per kWh, dan Filipina Rp 2.421 per kWh.
Sementara untuk golongan Bisnis Menengah-TR, tarif listrik di Indonesia ditetapkan sebesar Rp 1.445 per kWh, masih lebih murah dibandingkan di Filipina (Rp 1.636 per kWh), Malaysia (Rp 1.735 per kWh), Vietnam (Rp 1.943 per kWh), dan Singapura (Rp 2.110 per kWh). Tarif Indonesia untuk golongan ini hanya sedikit di atas Thailand (Rp 1.413 per kWh).