REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Namanya Riska. Ia adalah salah satu lulusan SDN Kenari, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Di umurnya yang baru 12 tahun, ia sudah merasakan pahit manisnya hidup. Manis saat ia masih memiliki kedua orang tua dan tinggal di sebuah rumah bilangan Kwitang.
Cobaan pun datang saat ayahnya yang mengidap darah tinggi meninggal karena terpeleset dari kamar mandi. Waktu itu, Riska masih duduk di kelas IV SD. Cobaan tak berhenti sampai disitu. Rumah kontrakannya di Kwitang pun ludes dilalap si jago merah.
Ia dan keluarganya pun pindah ke Citayam. Sejak peristiwa itulah, Riska memutuskan untuk berjualan koran, meski ibunya sempat melarang. Tapi Riska tak menyerah. Ia tetap berkeras untuk menjadi pelajar, sekaligus pedagang.
"Bapak sudah meninggal waktu saya kelas empat. Nggak tega liat ibu kerja sendiri. Jadi saya mau jadi tukang koran," ujarnya saat ditemui usai shalat dzuhur di Mushala Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Berjualan koran, bagi anak berkulit hitam manis ini adalah pilihan hidup yang ia lakukan demi membantu ibunya mengurangi beban hidup.
Pascawafat ayahnya, ibunya pun memutuskan untuk menjadi petugas kebersihan di Lapangan Banteng karena tulang punggung keluarga yang telah tiada. Pekerjaan Riska berjualan koran itu ternyata membuahkan hasil yang cukup bagus lantaran banyak pembeli yang iba padanya. "Pada kasihan kali sama saya," ucap anak yang kerap memakai seragam sekolah dalam berdagangnya.
Meski demikian, tak jarang Riska pun harus diomeli bosnya lantaran korannya pernah tidak laku satu pun. "Pernah pertama kali dagang, nggak laku. Eh diomelin bos dan nggak boleh balik lagi besoknya. Disuruh cari bos lain," tuturnya.
Selain pernah diomeli oleh bos korannya, ia pun mengaku pernah kesulitan mendapatkan penghasilan. Apalagi jika hujan mengguyur, Riska tidak bisa berkeliling menjajakan korannya.
Tak sekali dua kali bocah yang biasa mengambil koran dagangannya di Tugu Tani Jakarta Pusat ini mendapatkan cobaan dalam berdagang. Terlebih di bulan suci Ramadhan ini karena ia harus menjalani tiga aktivitas sekaligus. Puasa, sekolah dan berdagang.
"Saya bangun jam 4. Ambil dagangan dulu, terus sekolah. Pulang sekolah keliling dagang di daerah Tugu Tani dan sekitarnya," ucap siswi yang kini duduk di SMPN 273 Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun, anak yang kini tinggal di Citayam ini tetap memprioritaskan ibadah puasanya meski tentu, ia lelah. "Apalagi bulan puasa. Capek, haus. Tapi tetep puasa. Kan wajib," imbuhnya.
Riska pun bercerita, hampir tiap hari ia buka puasa di jalan. Selain itu, tak jarang dirinya belajar dan mengerjakan PR di kereta. Hal tersebut ia lakukan karena tak sempat ia kerjakan di rumah. "Berangkat subuh pulang pukul 22.00 WIB. Tidak sempat mengerjakan PR dan belajar di rumah. Buka puasa juga tidak pernah di rumah." katanya. Tak hanya itu, saking lelahnya, tak jarang pula Riska ketiduran di kereta.
Cobaan lain pun masih menyapanya di tempat ia bersekolah. Riska harus sabar dan tahan emosi manakala ia dicerca oleh teman-temannya dengan sebutan 'tukang koran'. Riska mengaku tak pernah sedih dengan cercaan itu.
Saat ditanya mengapa ia memilih berdagang koran, Riska mengaku karena ia ingin pintar dengan membaca koran meski teman-teman seperjuangannya yang lain justru memilih untuk mengamen dari bus ke bus. "Teman-teman pada jadi pengamen. Saya ingin pinter dengan baca koran, karena harga buku kan mahal," ucapnya seraya mengakhiri pembicaraan.