REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Allah SWT menjamin rezeki untuk setiap makhluknya yang ada di bumi, rezeki itupun telah ditentukan bagi masing-masing.
Ulama dan pemikir asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi (1878-1960) mengungkapkan bahwa rezeki terbagi menjadi dua.
Pertama, yaitu rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin Allah SWT sesuai dengan bunyi ayat di atas.
“Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya,” jelas Nursi dikutip dari buku “Misteri Puasa, Hemat, dan Syukur” terbitan Risalah Nur Press.
Kedua, rezeki majazi. Menurut Nursi, orang yang menyalahgunakan rezeki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting, di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid atau sikap meniru orang lain.
“Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini,” kata Nursi.
Harta tersebut, lanjut dia, seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan, meskipun dengan mencium kaki orang.
Lebih dari itu, kadang kala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan kesucian agama, padahal dia merupakan cahaya kehidupan yang abadi.
Selanjutnya, menurut Nursi, kepedihan yang lahir dari rasa kasihan kepada sesama lantaran kondisi yang dialami orang-orang lapar pada zaman di mana kemiskinan merajalela membuat para pemilik hati nurani merasa sedih, jika masih memiliki hati nurani, sehingga kenikmatan yang didapatkan dari harta haram menjadi pahit.
“Pada zaman yang aneh ini, seseorang harus membatasi diri dengan bingkai darurat dalam mempergunakan harta yang masih meragukan,” jelas dia.
Atas dasar itu, kata Nursi, harta yang haram bisa diterima secara terpaksa dalam batas darurat, tidak lebih dari itu.
”Seseorang yang terpaksa tidak boleh memakan bangkai hingga kenyang. Tetapi dia boleh memakan bangkai tersebut untuk sekadar bertahan hidup. Selain itu, tidak boleh memakan makanan secara lahap di hadapan ratusan orang lapar,” kata Nursi.