REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga mengatakan, penangkapan Bupati Bogor Ade Yasin menambah deret panjang ditangkapnya kepala daerah oleh KPK. OTT KPK tampaknya tidak membuat efek jera bagi kepala daerah. Hal itu setidaknya disebabkan tiga hal.
"Pertama, vonis hukuman yang terlalu rendah. Banyak kepala daerah yang terjerat korupsi hanya divonis hukuman lima tahun ke bawah," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (28/4/2022).
Kemudian, ia melanjutkan vonis tersebut juga tidak diikuti upaya pemiskinan bagi si koruptor. Hal itu, tentunya tidak membuat jera para koruptor. Kedua, masyarakat dapat menerima koruptor setelah usai menjalani hukuman. Bahkan, ada kesan masyarakat menyambut koruptor dengan suka cita.
"Hal itu tentunya membuat koruptor tidak merasa diasingkan oleh masyarakat. Akibatnya, sang koruptor merasa tetap nyaman setelah berbaur kembali dengan masyarakat," ujar dia.
Ketiga, besarnya biaya politik untuk menjadi kepala daerah. Modal politik itu tidak mungkin dapat dikembalikan dari gaji dan tunjangannya selama lima tahun menjabat. Akibatnya, kepala daerah akan menutupi biaya politik itu dengan cara tidak halal. Mereka mencari sumber keuangan yang dapat menutupi cost politik tersebut.
"Korupsi jalan yang paling cepat untuk menutupi semua cost politik. Selama tiga hal itu masih berlaku, maka kepala daerah akan tetap ada yang terkena OTT oleh KPK," kata dia.
Sebelumnya diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menangkap tangan (OTT) Bupati Kabupaten Bogor, Ade Yasin. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu diciduk bersama dengan 12 orang lainnya termasuk anggota BPK Jawa Barat.
KPK menjelaskan bahwa OTT terhadap Bupati Ade Yasin terkait suap pengurusan temuan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor. Giat KPK di kabupateb Bogor dilakukan pada Selasa (26/4) malam hingga Rabu (27/4/2022).
"(OTT) Terkait dugaan suap pengurusan temuan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri.