REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis, menjelaskan tentang implementasi kefitrahan saat menjadi khotib sholat Idul Fitri 1443 Hijriyah di Jakarta Internasional Stadium (JIS).
Kiai Cholil menyampaikan, implementasi kefitrahan tidak cukup hanya menjadi saleh secara individu, tetapi juga harus saleh secara sosial. Artinya, seseorang akan lebih baik jika ia banyak menebarkan kebaikan kepada orang banyak. Sebab, hidup ini akan dituntut oleh Allah SWT dengan dua hal, yaitu apa karya yang dipersembahkan dan jasanya yang ditinggalkan atau ma qaddamu wa atsarahum.
"Hidup ini hanya melewati waktu yang akan dicatat apakah tindakannya menjadi torehan sejarah yang monumental atau hal sia-sia yang dibuang," kata Kiai Cholil dalam khutbah Sholat Idul Fitri di JIS pada Senin (2/5/2022).
Ia menerangkan, untuk menjadi orang yang berguna kepada orang banyak harus melepaskan sikap individualisme dan harus punya kepekaan sosial. Rasulullah SAW menggambarkan solidaritas manusia beriman bagaikan satu fisik atau kaljasadi al-wahid yang diimplementasikan dengan saling merasakan. Kemudian, diaplikasikan dengan saling menguatkan yang diilustrasikan bagaikan satu bangunan atau kalbunyani al-wahid.
"Artinya, implementasi taqwa yang diraih melalui latihan Ramadhan harus diimplementasi pada sebelas bulan berikutnya dengan merasakan penderitaan saudara-saudara kita dan saling menguatkan dengan mengorbankan segala kemampuannya untuk kepentingan masyarakat," ujarnya.
Kiai Cholil menjelaskan, dalam konteks kebangsaan, ketaqwaan yang dirayakan di hari yang fitri ini harus merefleksikan rasa apa yang dirasakan oleh orang-orang yang kurang beruntung, dan menguatkan mereka agar bangkit serta maju. Dalam kontek bangsa Indonesia yang masih banyak yang berada pada tingkat kemiskinan maka semua yang mampu patut memberi perhatian dan bantuan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penduduk miskin di Indonesia per September 2021 mencapai 26,5 juta orang atau 9,71 persen. Bahkan menurut prediksi Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk.
"Artinya, kefitrahan kita harus tergugah untuk mengentaskan kemiskinan, baik dilakukan secara individu seperti zakat, infaq, dan sedekah atau secara kolektif melalui kebijakan negara yang berpihak kepada kaum miskin dan dhuafa," jelasnya.
Kiai Cholil mengatakan, di sinilah kewajiban mengimplemesikan fitrah dalam bingkai ukhuwah. Kiranya patut bagi semua merevitalisasi konsep trilogi ukhuwah yang awalnya dikenalkan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Shiddiq (1926-1991). Konsep trilogi ukhuwah adalah menyatukan antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).
"Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan sesama pemeluk agama Islam, baik dalam bingkai kenegaraan atau bingkai keumatan. Inilah modal umat Islam dalam melakukan interaksi sosial sesama Muslim," ujar Kiai Cholil.
Ia menjelaskan, ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan untuk membangun persatuan antar anak bangsa dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inilah modal dasar untuk melakukan pergaulan sosial dan dialog dengan perbagai komponen bangsa Indonesia yang majmuk, tentu saja tidak terbatas pada satu agama semata.
Sementara, ukhuwah basyariyah adalah persaudaraan yang paling mendasar sebagai manusia yang lahir dari bapak dan ibu yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ini prinsip dan landasan untuk membangun persaudaraan manakala ukhuwah Islamiyah atau ukhuwah wathaniyah tidak lagi mengikat dengan kuat.
Ia menambahkan, pada hari kemenangan dalam mengikat hawa nafsu untuk mencapai ketaqwaan melalui ibadah puasa, marilah tunjukkan indikator keberhasilan dalam meraih ketakwaan. Mari tunjukkan kesejatian diri yang “fitri” yang senantiasa menebarkan cinta kasih, persaudaraan, kebersamaan, dan mampu memaafkan orang lain.
"Fitrah yang sesungguhnya adalah ketika taqwanya bertambah, berarti peran serta kemanusiaan lebih baik, amal salehnya meningkat, baik kesalehan individu maupun kesalehan sosial. Jadi, kembali ke fitrah berarti kembali mendengarkan suara hati yang paling dalam yang sudah kita jernihkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Semoga Allah SWT menuntun dan membimbing kita untuk selalu menjaga jiwa kita agar tetap bertaqwa dan berjalan pada fitrahnya," kata Kiai Cholil.