REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Perusahaan energi Sri Lanka pada Senin (9/5/2022) mengatakan, mereka kehabisan stok bahan bakar gas cair atau LNG yang digunakan untuk memasak. Ketua Litro Gas yang dikelola negara, Vijitha Herath, mengatakan, krisis valuta asing di Sri Lanka menyebabkan kekurangan gas yang cukup parah.
"Dengan keterlibatan Presiden, kami akan mendapatkan pendanaan sebesar 7 juta dolar AS dari bank sentral untuk membayar pengiriman 3.500 metrik ton (MT), yang diharapkan tiba pada hari Selasa," kata Herath.
Sri Lanka membutuhkan minimal 40.000 MT sebulan untuk mencukupi pasokan gas di dalam negeri. Antrian panjang terlihat di beberapa agen gas dalam beberapa hari terakhir, dan kerap berubah menjadi aksi protes dadakan karena konsumen mulai frustasi dan khawatir kehabisan pasokan gas untuk kebutuhan dapur.
Sementara pemain kedua dalam duopoli Sri Lanka, Laugfs Gas, memiliki kurang dari 2000 MT gas, yang telah dicadangkan untuk industri dan rumah sakit. Perusahaan juga berjuang untuk mendapatkan dolar untuk membayar impor gas.
"Kami adalah negara yang bangkrut. Bank tidak memiliki cukup dolar bagi kami untuk membuka jalur kredit dan kami tidak dapat pergi ke pasar gelap. Kami berjuang untuk menjaga bisnis kami tetap bertahan," kata CEO Laugfs Gas, WHK Wegapitiya.
Wegapitiya memperkirakan, butuh waktu setidaknya satu minggu bagi perusahaan untuk mengamankan pengiriman gas.
Pada Senin, ratusan pendukung partai yang berkuasa berunjuk rasa di luar kediaman resmi Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa. Unjuk rasa terjadi setelah media lokal melaporkan bahwa, Mahinda Rajapaksa akan mundur untuk mengurangi tekanan pada Presiden Gotabaya Rajapaksa, yang merupakan adik laki-lakinya.
"Kekuatan siapa? Kekuatan Mahinda!" teriak para pengunjuk rasa saat gerbang kompleks terbuka untuk mengizinkan mereka masuk.
Sri Lanka telah mendekati Dana Moneter Internasional (IMF) untuk bailout. Sri Lanka dijadwalkan menggelar pertemuan puncak virtual pada Senin, dengan pejabat dari pemberi pinjaman multilateral yang bertujuan untuk mengamankan bantuan darurat.
Menteri Keuangan Ali Sabry, pekan lalu mengatakan, Sri Lanka memiliki hanya cadangan devisa sekitar 50 juta dolar AS. Hal ini menyebabkan negara tersebut mengalami kekurangan bahan bakar, makanan, dan obat-obatan. Presiden Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat untuk kedua kalinya dalam lima minggu pada Jumat (6/5/2022) lalu.