Senin 16 May 2022 10:32 WIB

Pertumbuhan 5,1 Persen Indonesia dan Peran Sentral BUMN

Bank Dunia rilis artikel bahas peran BUMN Indonesia di masa krisis.

Red: Joko Sadewo
Menteri BUMN, Erick Thohir ajak ribuan petani mengikuti program Makmur, untuk kesejahteraan para petani.
Foto: BUMN
Menteri BUMN, Erick Thohir ajak ribuan petani mengikuti program Makmur, untuk kesejahteraan para petani.

Oleh : Sammy Abdullah, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID,  Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun 2022 sebesar 5, 1 persen. Angka ini adalah salah satu yang tertinggi di Asia. Pertumbuhan Indonesia bahkan melampaui Cina.

Sejumlah lembaga mengapresiasi kesuksesan ekonomi Indonesia untuk bangkit dari krisis pasca-pandemi. Apresiasi khusus datang dari Bank Dunia. Bank Dunia bahkan merilis sebuah artikel yang membahas peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membawa Indonesia keluar dari krisis akibat pandemi. "Peran perusahaan milik negara sebagai accelerator dan shock absorber di perekonomian negara berkembang...seperti di Indonesia, yang mana PLN, BUMN energi, memberikan subsidi bagi 30 juta pelanggan berdasarkan permintaan Pemerintah," ungkap Bank Dunia dalam artikel bertajuk State-owned enterprises during crisis: assets or liabilities yang ditulis Senior Governance Specialist Bank Dunia Natalia Manuilova dan Senior Public Sector Specialist, Ruxandra Burdescu.

Apa yang diungkap bank dunia menjadi sebuah diskursus yang menarik. Pernyataan ini merevisi pandangan mazhab ekonomi liberal yang memandang bahwa peran negara dalam perekonomian perlu ditekan seminimal mungkin. Namun BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir mampu membuktikan bahwa hadirnya negara via perusahaan plat merah tak justru mematikan pasar. Sebaliknya BUMN terbukti jadi motor yang mendorong tumbuhnya pasar di tengah kelesuan akibat pandemi.

Di Indonesia, Presiden Jokowi sejak awal memang memerintahkan Menteri BUMN Erick Thohir agar terlibat aktif dalam pemulihan ekonomi maupun sosial saat pandemi. Erick pun melakukan pendekatan yang agresif selama pandemi Covid-19. Dari hulu sampai hilir, Erick menggerakkan BUMN di segala sektor untuk merespons pandemi. Mulai dari BUMN di bidang kesehatan yang menyiagakan rumah sakitnya hingga vaksin Covid.

Ada pula BUMN infrastruktur yang digerakkan untuk membangun segala infrastruktur darurat, seperti rumah sakit Wisma Atlet. Ada pula BUMN bidang transportasi yang disiagakan untuk proses distribusi vaksin dan alat kesehatan dari sejumlah negara dunia. Selain BUMN yang bergerak responsif dalam mengatasi pandemi, ada pula BUMN yang bergerak proaktif dalam memberi subsidi selama pandemi. Ini seperti yang dibahas Bank Dunia soal peran PLN memberi subsidi listrik bagi 20 juta masyarakat. Sementara itu, bank himbara yang memberi modal dan kredit usaha dengan bunga rendah.

BUMN Indonesia juga memberi insentif pada sekitar 10 juta kalangan ibu-ibu lewat program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekar). Lewat program itu, banyak ibu yang bisa membuka usaha kecil menengah yang tak hanya menghasilkan bagi dirinya sendiri, melainkan membuka lapangan kerja bagi yang lain. Jika satu peserta program Mekar yang mendapat suntikan dana pinjaman usaha mempekerjakan satu orang saja, maka total program ini telah menciptakan 20 juta lapangan kerja. Inilah salah satu pondasi penting peran BUMN sepanjang pandemi.

Porsi yang sangat besar yang diambil BUMN ini terbukti menjadi pilar utama yang menopang perekonomian Indonesia. Peran sentral inilah yang membuat resiliensi Indonesia dalam menahan dampak Covid dari sisi ekonomi relatif baik.

Data dari Asian Development Bank 2021 menunjukkan bahwa Indonesia bersama Cina dan Vietnam adalah negara dengan ketahanan ekonomi terbaik pada saat dan pasca-pandemi. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 1 tahun 2022 kini mampu melampaui Cina. Angka pertumbuhan yang menyentuh level 5,1 persen ini sama dengan level pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum pandemi.

Peran BUMN Indonesia sebagai motor penggerak ekonomi merupakan temuan yang menarik bagi diskursus ekonomi makro maupun mikro. Apa yang ditulis Bank Dunia ini bisa jadi merevisi atas apa yang menjadi bahasan sejumlah ilmuwan pada akhir 1980-an hingga 1990-an.

Pada era 1980-an dan 1990-an merupakan salah satu era yang mana liberalisme ekonomi memasuki fase puncak. Saat itu industrialisasi sedang sangat masif seiring dengan berakhirnya perang dingin. Liberalisme ekonomi mendorong banyak perusahaan privat merajai hampir seluruh sektor ekonomi.

Sebaliknya, proteksi terhadap perusahaan milik negara semakin berkurang. Akibatnya banyak perusahaan milik negara (State-Owned Enterprise) di negara besar dunia babak belur. Akibatnya muncul semangat di sejumlah negara untuk meliberalisasi perusahaan negara. Kebijakan yang paling nyata terkait liberalisasi ini dilakukan oleh Perdana Menteri Inggris saat itu, yakni Margaret Thatcher yang mendorong kebijakan politik ekonomi kebijakan Selling of an Existing State-Owned Enterprise.

Sejumlah ilmuwan pun mulai memperkenalkan konsep New Public Management (NPM) sebagai solusi agar perusahaan milik negara bisa tetap eksis di tengah perekonomian yang semakin liberal era 1990. Konsep NPM digagas Christopher Hood (1991) yang intinya menggariskan agar BUMN tidak sekadar berorientasi servis melainkan juga berorientasi profit agar tetap mampu menjaga sustainalibilitasnya sepanjang waktu. Bersama dengan itu, Hood menawarkan sejumlah gagasan yang intinya mendorong BUMN untuk semakin menerapkan manajemen bergaya perusahaan privat. Konsep NPM Hood ini menekankan pentingnya perusahaan publik dan BUMN menerapkan strategi manajemen yang memiliki orientasi persaingan bisnis untuk mengalahkan kompetitor.

Namun sejumlah ilmuwan seperti Hoeglund et al (2018) justru menemukan fakta bahwa perusahaan BUMN cenderung sulit untuk menerapkan strategi bisnis yang baik sekalipun telah mengadopsi prinsip NPM. Pasalnya BUMN nyatanya tetap terikat dengan kebijakan politik sebuah negara. Hoeglund et al yang meneliti perusahaan transportasi publik di Swedia menemukan temuan bahwa strategi perusahaan kerap berubah seiring dengan perubahan komposisi politik negara. Inilah yang dijadikan dasar asumsi bahwa BUMN di negara demokrasi akan tetap sulit bersaing dengan perusahaan privat.

Namun era pandemi seperti menjadi antitesis pandangan sejumlah ilmuwan atau ekonom neoliberalisme. Pandangan yang selama ini berpikir bahwa BUMN adalah liabilitas akibat kesulitan bersaing dengan perusahaan privat, dapat terbantahkan dengan kenyataan di Indonesia selama pandemi. Hal inilah yang dipotret oleh Senior Governance Specialist Bank Dunia Natalia Manuilova dan Senior Public Sector Specialist, Ruxandra Burdescu lewat artikelnya State-owned enterprises during crisis: assets or liabilities.

Dalam situasi serba krisis akibat pandemi, peran BUMN terbukti begitu sentral untuk memutar ekonomi. Saat pasar babak belur, di saat itulah peran BUMN sebagai akeselator perekonomian negara terbukti sangat masif.

Sejarah memang seperti roda yang berputar. Apa yang terjadi pada era pandemi mirip dengan situasi pasca The Great Depression 1930 di Amerika. Saat itu, depresi menandakan akhir dari liberalisme klasik yang mengagungkan konsep Laissez-faire. Sebaliknya, usai Great Depression 1930, ide social liberalism menjadi diskursus utama. Social liberalism yang berintikan pentingnya peran negara dalam pasar.

Walhasil situasi depresi 1930 yang ibarat terulang pada pandemi kini membuktikan ucapan seorang filsuf Spanyol George Santayana; "Those who do not remember the past are condemned to repeat it."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement