REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada sekaligus pengamat ekonomi energi, Fahmy Radhi, mengatakan, keputusan pemerintah yang tidak akan mengekspor energi baru terbarukan (EBT) bisa berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia.
"Pengembangan energi baru terbarukan dibutuhkan teknologi yang tidak dimiliki Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus menggandeng investor pemilik teknologi. Investor akan urungkan niat investasi di Indonesia kalau pasar dibatasi hanya untuk dalam negeri tanpa bisa diekspor," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis (19/5).
Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia belum berpikir untuk mengekspor energi baru terbarukan ke negara manapun. Ia mempersilakan investor untuk menanamkan modal di sektor energi baru terbarukan di Indonesia. Namun, produk setrum bersihnya tidak akan diekspor agar membangun industri lokal di dalam negeri.
Pemerintah terus mendorong pengembangan energi hijau dan ramah lingkungan, termasuk mengembangkan potensi sumber energi baru terbarukan hingga mendorong ekosistem kendaraan listrik dan baterai kendaraan listrik di dalam negeri. Pengembangan energi yang ramah lingkungan juga sejalan dengan target nationally determined contribution (NDC) Indonesia untuk bisa mencapai target netralitas karbon pada 2060 atau lebih cepat.
Lebih lanjut Fahmy menilai bahwa pernyataan Menteri Bahlil itu tidak sesuai dengan investasi energi baru terbarukan yang telah dilakukan oleh Pertamina dan PLN yang bekerja sama dengan investor asing.Menurut dia, Pertamina sudah menggandeng perusahaan Eni Italia untuk menghasilkan bahan bakar nabati B-100 yang akan dipasarkan ke dalam dan luar negeri.
Sementara itu, anak perusahaan PLN bekerja sama dengan perusahaan Singapura untuk menghasilkan listrik yang seluruh setrumnya dijual ke Singapura. Fahmy pun menyarankan agar pemerintah membatalkan keinginan untuk tidak mengekspor energi baru terbarukan supaya tidak blunder di masa depan.