Senin 30 May 2022 11:42 WIB

Jenderal Tertinggi Sudan Cabut Status Keadaan Darurat

Status darurat sebelumnya diberlakukan setelah kudeta

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Kepala Dewan Militer Sudan Jenderal Abdel-Fattah al-Burhan  mencabut keadaan darurat pada Ahad (29/5/2022). Status tersebut sebelumnya diberlakukan setelah kudeta yang dipimpin olehnya pada Oktober tahun lalu.
Foto: Anadolu Agency
Kepala Dewan Militer Sudan Jenderal Abdel-Fattah al-Burhan mencabut keadaan darurat pada Ahad (29/5/2022). Status tersebut sebelumnya diberlakukan setelah kudeta yang dipimpin olehnya pada Oktober tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Jenderal Tertinggi Sudan Abdel-Fattah Burhan mencabut keadaan darurat pada Ahad (29/5/2022). Status tersebut sebelumnya diberlakukan setelah kudeta yang dipimpin olehnya pada Oktober tahun lalu.

Keputusan kepala dewan kedaulatan yang berkuasa di Sudan ini muncul beberapa jam setelah Dewan Keamanan dan Pertahanan yang merupakan badan tertinggi Sudan yang memutuskan masalah keamanan merekomendasikan diakhirinya keadaan darurat dan pembebasan semua tahanan. Menteri Pertahanan Sudan Mayor Jenderal Yassin Ibrahim Yassin mengatakan, rekomendasi tersebut dimaksudkan untuk memfasilitasi dialog antara militer dan gerakan pro-demokrasi.

Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Sudan Volker Perthes menyerukan para pemimpin negara itu untuk mencabut keadaan darurat pada Ahad pagi. Dia mengecam pembunuhan dua orang dalam tindakan keras terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi yang turun ke jalan-jalan ibukota untuk mengecam kudeta 25 Oktober.

"Sekali lagi: Sudah waktunya kekerasan berhenti," kata Perthes di Twitter.

Ratusan orang berbaris di Khartoum sehari sebelumnya. Pasukan keamanan membubarkan massa dengan kekerasan dan mengejar mereka di jalan-jalan. Komite Dokter Sudan yang merupakan bagian dari gerakan pro-demokrasi menyatakan, dua orang meninggal dunia dalam protes di lingkungan Kalakla Khartoum dengan satu ditembak oleh pasukan keamanan dan yang lainnya mati lemas setelah menghirup gas air mata.

Sudan telah terjerumus ke dalam kekacauan sejak pengambilalihan militer setelah tiga dekade pemerintahan represif oleh Omar al-Bashir. Al-Bashir dan pemerintahnya digulingkan oleh militer dalam pemberontakan rakyat pada April 2019.

Protes terbaru yang terjadi adalah bagian dari unjuk rasa tanpa henti dalam tujuh bulan terakhir yang menyerukan militer untuk menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil. Setidaknya 98 orang telah meninggal dan lebih dari 4.300 terluka dalam tindakan keras pemerintah terhadap protes anti-kudeta sejak Oktober. Ratusan aktivis dan pejabat pemerintah juga ditahan setelah kudeta, banyak yang kemudian dibebaskan di bawah tekanan dari PBB dan pemerintah barat lainnya.

Para pengunjuk rasa menuntut pencopotan militer dari kekuasaan. Namun, para jenderal mengatakan, hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan terpilih. Mereka mengatakan pemilihan akan berlangsung pada Juli 2023 seperti yang direncanakan dalam dokumen konstitusi yang mengatur masa transisi.

PBB, Uni Afrika, dan delapan negara kelompok regional Afrika timur yang disebut Otoritas Antar Pemerintah dalam Pembangunan telah memimpin upaya bersama untuk menjembatani kesenjangan antara kedua belah pihak. Mereka mencoba menemukan jalan keluar dari kebuntuan.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement