REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut masyarakat Indonesia belum toleran. Hal ini menjadi salah satu temuan survei SMRC bertajuk Sikap Publik terhadap Pancasila untuk Konsolidasi Sistem Politik Indonesia yang dirilis Rabu (1/6/2022).
"Toleransi yang kurang kuat ini melekat di dalam nilai-nilai yang merupakan satu tafsiran pada sila-sila Pancasila yang tidak cukup inklusif terhadap spektrum yang luas dari keragaman pandangan dan orientasi politik, dan identitas sosial," ujar pendiri SMRC Saiful Mujani dalam siaran pers yang diterima Republika, Rabu.
Dia menjelaskan, secara umum tingkat toleransi publik sebesar 49,1 dalam skala 0-100. Dalam penelitian ini toleransi diukur dalam tiga wilayah yang menjadi hak setiap warga negara, yaitu tempat tinggal, menjadi guru di sekolah negeri, dan menjadi pejabat pemerintah.
Hasil survei menunjukkan, latar belakang orang yang paling tidak ditoleransi ialah komunis, ISIS, LGBT, dan ateis. Sedangkan, latar belakang orang yang paling ditoleransi adalah Islam, Papua, Kristen/Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Dalam hal tempat tinggal, ada 77 persen responden yang mengaku keberatan apabila ada warga yang berlatar belakang komunis atau PKI menjadi tetangga mereka. Sementara, mereka yang keberatan kepada ISIS sebesar 72 persen, LGBT 68 persen, ateis 57 persen, dan Yahudi 51 persen.
Hasil survei juga menunjukan, masyarakat menyatakan keberatan jika ada orang yang berlatar belakang komunis atau PKI (81 persen), LGBT (77 persen), ISIS (77 persen), ateis (67 persen), dan Yahudi (57 persen) menjadi guru sekolah negeri. Warga pun mengaku keberatan pada orang yang berlatar belakang komunis (83 persen). Selanjutnya ISIS (78 persen), LGBT (78 persen), ateis (71 persen), dan Yahudi (51 persen) menjadi pejabat pemerintah.
Saiful mengatakan, secara umum masyarakat terbelah antara yang toleran dan tidak toleran. Menurut dia, toleransi masih dibatasi hanya pada kelompok-kelompok tertentu, dan tidak terbuka bagi manusia atau warga negara yang misalnya berpaham komunis, Islamis, ateis, atau yang beridentitas LGBT dan Yahudi.
Dia menuturkan, intoleransi kepada komunis pada tingkat individu ini cerminan dari fakta bahwa negara melarang paham dan orang berpaham komunis. Sementara, ISIS tidak ditoleransi juga cerminan dari perilaku ISIS yang mengerikan selama ini sebagaimana diekspos di media massa.
Menurut Saiful, LGBT adalah identitas sosial yang sampai hari ini memunculkan polemik di masyarakat dan sering diyakini bertentangan dengan sila pertama Pancasila, termasuk juga ateis. Namun, kata dia, ateis tidak sekuat LGBT, misalnya dalam perbincangan di publik.
Dia menduga intoleransi pada Yahudi mungkin dikaitkan dengan Israel yang menduduki wilayah Palestina dan terus menerus konflik dengan Palestina. Selama ini Indonesia pun tidak mengakui Israel.
Selain itu, dia melanjutkan, Yahudi adalah salah satu agama besar di dunia yang tak diakui secara resmi di Indonesia, tidak seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Kalau melihat tingkat toleransi secara umum yang rendah ini, kata Saiful, basis sosial dan kultural bagi demokrasi Indonesia lemah.
"Mungkin Indonesia sulit memajukan demokrasinya hingga melewati batas demokrasi elektoral karena sebagian warganya tidak toleran, tidak menerima kesamaan hak-hak warganya karena beda identitas sosial, keyakinan, atau pandangan politiknya," ucap dia.
Survei ini dilakukan pada 10-17 Mei 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah saat survei dilakukan.
Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) sebanyak 1.220 responden. Response rate atau responden yang dapat diwawancarai secara valid sebesar 1.060 atau 87 persen. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,07 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen (asumsi simple random sampling).