REPUBLIKA.CO.ID, MINNEAPOLIS -- Minneapolis pada musim semi ini menjadi kota besar pertama di Amerika Serikat (AS) yang mengizinkan diserukannya kumandang adzan oleh masjid-masjid. Pemimpin Asosiasi Islam Amerika Utara, Yusuf Abdulle mengatakan, ini menjadi bukti komunitas Muslim semakin terlihat dan besar, dengan tetap menjaga kehati-hatian agar tidak menimbulkan reaksi.
"Ini tanda bahwa kita ada di sini. Ketika saya tiba di AS dua dekade lalu, hal pertama yang saya lewatkan adalah adzan. Kami meninggalkan segalanya dan menjawab panggilan Allah SWT," tutur dia mengenang, seperti dilansir Post Gazette, Senin (6/6/2022).
Asosiasi Islam Amerika Utara sendiri adalah jaringan untuk tiga lusin masjid yang sebagian besar adalah masjid-masjid orang Afrika Timur. Setengah dari mereka berada di Minnesota yang merupakan rumah bagi jumlah pengungsi yang berkembang pesar dari Somalia yang dilanda perang sejak akhir 1990-an.
Di negara-negara mayoritas Muslim, kumandang adzan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, adzan di Minneapolis ibarat pendatang baru yang bergema di tengah raungan suara lalu lintas kota, gemuruh salju di musim dingin dan latihan sirene tornado di musim panas.
Menurut sarjana studi agama di Ohio State University, Isaac Weiner, orang Amerika telah lama memperdebatkan kumandang suara agama di ranah publik. "Apa yang kami anggap remeh dan apa yang menonjol itu diinformasikan oleh siapa yang kami anggap sebagai komunitas. Kami merespons suara berdasarkan siapa yang membuatnya," katanya.
"Suara itu (adzan), adalah koneksi ke Tuhan sekalipun berada di tempat kerja atau di ladang atau di ruang kelas. Ini adalah keseimbangan dunia dan akhirat," kata Abdisalam Adam, yang sering melaksanakan sholat di Masjid Dar Al-Hijrah.
Direktur Masjid Dar Al-Hijrah, Wali Dirie, menuturkan, Masjid Dar Al-Hijrah mendapat izin khusus untuk mengumandangkan adzan selama bulan suci Ramadhan pada musim semi 2020 ketika Minnesota berada di bawah penguncian pandemi, sehingga umat dapat mendengar adzan dari rumah. Kemudian terdengar dari pengeras suara yang dipasang dengan bantuan First Avenue, klub malam yang dipopulerkan oleh Prince.
Para Muslim saat itu mengira mereka sedang bermimpi, lalu menangis di jendela rumah mereka. Kebutuhan komunitas Muslim mengarah pada resolusi baru-baru ini, yang mengizinkan kumandang adzan secara lebih luas. Hal ini menetapkan tingkat desibel dan batas per jam sesuai dengan peraturan kebisingan kota. Artinya, adzan Subuh dan larut malam hanya dikumandangkan di dalam ruangan.
Saat ini, Masjid Dar Al-Hijrah mengumandangkan adzan sholat tiga kali sehari. Inilah yang kemudian menarik perhatian pemuda seperti Mohamad Mooh yang baru datang lima bulan lalu. Dia berharap kumandangnya lebih keras seperti di Somalia, sehingga kumandang adzan pada waktu Subuh membangunkannya. Namun dia mengakui ini sedikit rumit karena masyarakat.
Sama seperti beberapa orang Amerika yang menentang lonceng gereja di abad ke-19, adzan juga telah menyebabkan perselisihan selama bertahun-tahun, dari Duke University hingga Culver City, California. Di Hamtramck, Mich., sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh Detroit, anggota dewan mengecualikan suara keagamaan dari peraturan kebisingan karena adanya permintaan dari masjid. Setelah tragedi 9/11, amandemen itu terlibat dalam kontroversi nasional, tetapi referendum untuk mencabutnya gagal.
Abdullahi Mohammed yang merupakan warga setempat mengatakan biasanya dia menggunakan aplikasi pengingat waktu sholat untuk bisa melaksanakan sholat. Dia berharap kumandang adzan dikumandangkan di mana-mana karena itu akan mengajarkan anak-anak Muslim untuk sholat secara otomatis. Namun dia menyadari, bagi non-Muslim tentu akan merasakan keadaan yang berbeda.
Direktur Council on American-Islamic cabang Minnesota, Jaylani Hussein menuturkan, beberapa masjid mungkin memutuskan untuk tidak mengumandangkan adzan. Hal ini untuk menghindari ketegangan dengan non-Muslim, kerumitan teknis dan tantangan lainnya.
Meski begitu, ada banyak pula masjid yang ingin mendorong diizinkannya untuk bisa mengumandangkan adzan pada waktu sholat lima waktu. Masjid-masjid juga berharap Minneapolis menjadi contoh bagi kota-kota di seluruh negeri. "Kami ingin umat Islam sepenuhnya ada di sini di Amerika," kata Hussein.
Beberapa kelompok warga setempat menyampaikan, untuk sementara ini belum ada diskusi formal yang digelar. Mereka berharap sebagian besar penduduk menyetujui. Di dua gereja, yang didirikan lebih dari seabad yang lalu oleh imigran Skandinavia dan sekarang ada dalam jangkauan adzan, para pemimpinnya tidak keberatan.
Jemaat Trinity Lutheran bekerja sama dengan Masjid Dar Al-Hijrah dalam acara amal. Pastor Jane Buckley-Farlee pun suka mendengar adzan dari kantornya. "Ini mengingatkan saya bahwa Tuhan lebih besar dari yang kita tahu," katanya.
Hierald Osorto, pendeta dari Gereja St. Paul Lutheran di dekat Masjid Abubakar As-Siddiq dan masjid lain, juga mengantisipasi tidak ada penolakan dari umatnya. Bahkan, dia berpikir untuk mengembalikan lonceng gereja yang sudah lama rusak sebagai cara untuk mengumpulkan jemaat dan membuatnya lebih terlihat di lingkungan sekitar.
"Ini memungkinkan kita untuk dikenal," kata Pak Osorto. Sementara itu, Imam Masjid Abubakar As-Siddiq di Minneapolis selatan, Mowlid Ali berharap, dengan mengumandangkan adzan di depan umum, justru akan lebih menarik minat tetangga untuk mengetahui tentang agama Islam.