REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penderita demam berdarah dengue (DBD) di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung, di Jalan Rumah Sakit Ujung Berung, sepanjang Januari-Mei 2022 mencapai 398 kasus dan enam di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Kasus temuan DBD ini meningkat dibanding tahun lalu dengan 296 pasien dan jumlah pasien meninggal tiga korban jiwa hingga akhir Desember.
Humas RSUD Kota Bandung, Chairudin Latupono, mengatakan saat ini penyakit DBD merupakan kasus tertinggi yang kerap menjangkiti warga, diikuti dengan disentri. “DBD ini adalah termasuk yang cukup tinggi kasusnya. Dari Januari sampai dengan Mei terakhir sudah terdata 398 kasus yang kita rawat. Nah selebihnya, seperti disentri, ya mungkin karena penghujan makan sembarang dan lainnya, sehingga kebanyakan terjadi kepada anak anak,” ujarnya di RSUD Kota Bandung, Ujung Berung.
Pasien rawat didominasi oleh anak-anak, dengan data sepanjang Januari-Mei berjumlah 267, sedangkan orang dewasa berjumlah 131. Kasus tertinggi ditemukan pada bulan Januari yaitu sebesar 115 kasus DBD dan di tahun ini, kasus terendah ditemui di Bulan Maret sebanyak 45 kasus DBD. Pria yang akrab disapa Heri ini menuturkan, pihaknya selalu rutin melakukan penyuluhan terkait kasus DBD yang kian melonjak.
“Jadi memang promosi kesehatan sangat perlu bagi masyarakat. Kita tidak bisa datang door to door ke wilayah wilayah, jadi kami lakukan di area rumah sakit," ungkapnya.
"Jadi setiap dia kontrol, dia bisa melihat informasi-informasi yang dibagikan oleh teman-teman di rumah sakit (staff rumah sakit). Biasanya itu pagi disamakan dengan jam pelayanan di setengah delapan atau jam delapan sampai dengan jam sepuluh,” tambahnya.
Meski ada peningkatan dibandingkan tahun lalu, ia mengatakan, bahwa pada dua tahun sebelumnya bisa saja terjadi loss data (kehilangan data) akibat masyarakat yang enggan memeriksakan diri ke rumah sakit. “Mungkin dua tahun ke belakang tertutupi kasus covid ya, tetapi di 2019 dan 2018 itu pernah tinggi sekali kasus DBD itu,” imbuh Heri.
Ia menambahkan, kasus pasien yang meninggal bisa jadi diakibatkan oleh pasien yang telat memeriksakan diri. “Iya bisa meninggal jika telat melapor, DBD itu kan virus. Kenapa bisa mengakibatkan kehilangan nyawa? Itu diakibatkan di dalam darahnya itu trombositnya rendah, terus merendah sampai bisa hilang kesadaran, sampai bisa meninggal,” terangnya.
Fogging, kata dia, selalu diterapkan oleh aparat kewilayahan jika mendapati pasien yang terjangkit DBD. “Baik dari kelurahan atau kecamatan kepada masyarakat di komplek atau perkampungan. Ada kesadaran masyarakat, andaikata ada yang terkena DBD biasanya dilaporkan ke aparat desa setempat sehingga dilakukan penyemprotan (fogging),” jelasnya.
Selain itu, Heri mengimbau masyarakat agar terus memerhatikan kebersihan, agar tidak ada air menggenang. “Masyarakat harus jaga kesehatan. Jangan biarkan sampah-sampah itu tidak dikelola dengan baik, karena nyamuk aedes aegepty ini nyamuk elit tidak mau di got kotor. Maunya di tampungan air hujan, di air yang notabene air bersih,” katanya.
Apabila anak sudah panas lebih dari tiga hari, tutur Heri, orang tua harus segera membawanya ke dokter untuk dilakukan tes lab dan mendapatkan perawatan yang baik dan benar. “Mudah-mudahan kita diberi keselamatan dan diberi perlindungan olhe Allah SWT,” tandasnya.