Rabu 08 Jun 2022 15:28 WIB

Hujan Ekstrem Hingga Banjir Bikin Harga Cabai Makin Mahal

Budidaya cabai sangat tergantung pada situasi cuaca.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Petani memanen cabai keriting di Desa Hidayat Kecamatan Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, Senin (14/3/2022). Hujan ekstrem beberapa waktu terakhir hingga menyebabkan banjir menjadi alasan utama meningkatnya harga cabai hingga Rp 100 ribu per kilogram.
Foto: ANTARA/Harmoko Minggu
Petani memanen cabai keriting di Desa Hidayat Kecamatan Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, Senin (14/3/2022). Hujan ekstrem beberapa waktu terakhir hingga menyebabkan banjir menjadi alasan utama meningkatnya harga cabai hingga Rp 100 ribu per kilogram.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hujan ekstrem beberapa waktu terakhir hingga menyebabkan banjir menjadi alasan utama meningkatnya harga cabai hingga Rp 100 ribu per kilogram.

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Tommy Nugraha, mengatakan, akibat curah hujan tinggi banyak tanaman cabai terserang hama dan jamur. Alhasil, potensi panen hilang, pasokan ke wilayah kota turun dan harga melonjak.

Baca Juga

"Berdasarkan data early warning system seharusnya sekarang kita surplus tapi karena tiba-tiba cuaca ekstrem, itu betul-betul membuat kita kewalahan," kata Tommy kepada Republika.co.di, Rabu (8/6/2022).

Ia pun mengakui situasi saat ini memang berkaitan dengan fenomena perubahan iklim yang terjadi. Masalah perubahan iklim juga sudah menjadi tantangan utama yang difokuskan Kementan.  

"Kita sudah berkoordinasi dengan bagian perlindungan tanaman untuk melakukan gerakan pengendalian penyakit jamur, memang tidak banyak yang bisa kita lakukan tapi minimal mengurangi risiko gagal panen," ujarnya menambahkan.

Lantaran budidaya cabai yang sangat tergantung pada situasi cuaca, Tommy mengatakan belum diketahui berapa lama tingginya harga cabai akan berlangsung. Sebab, cuaca akan menentukan.

"Kalau cuaca masih seperti ini mungkin masih panjang, tapi kalau hujan minimal, bisa mereda. Tapi sekarang juga sudah ada tanaman yang siap panen," ujar Tommy.

Ketua Asosiasi Champion Cabai, Tunov Mondro Atmodjo, menuturkan, turunnya hujan dan cuaca panas ekstrem yang bergantian hampir setiap hari menjadi membuat produksi cabai rusak hingga 50 persen.

"Curah hujan sangat tinggi, dan giliran panas itu luar biasa. Saya tidak tahu ini badai atau apa. Ini yang paling bahaya dan ditakutkan petani," kata Tunov.

Ia menjelaskan, pada pertengahan tahun ini biasanya memasuki musim kemarau sehingga semestinya tidak terdapat gangguan. Apalagi jumlah luasan tanam sedang luas-luasanya karena permintaan bibit dan pupuk juga sedang tinggi.

Namun, akibat situasi cuaca yang ekstrem nyatanya berdampak pada kegagalan produksi. Menurut Tunov, baru tahun ini ia mengalami perubahan cuaca yang cepat dan ekstrem.

"Misalkan hujan atau panas terus kita bisa siapkan antisipasi. Tapi kalau cuaca ganti-ganti, serba susah. Kita bahkan tidak tahu sekarang musim apa," ujarnya.

Tunov mencontohkan, di saat musim kemarau seperti sekarang, untuk mengantisipasi hama petani akan menggunakan obat-obatan. Nyatanya, hujan turun kurang dari sehari setelah penyemprotan obat dilakukan.

"Ya jelas obat-obatannya hilang terkena air. Giliran kita tidak semprot, ternyata cuacanya panas. Hama menyerang tanaman," kata Tunov.

Akibat situasi cuaca yang fluktuatif itu, anjloknya produksi tak terbendung dan mengerek kenaikan harga hingga Rp 80 ribu per kilogram (kg) cabai rawit dari petani.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement