REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Bersihkan Korupsi sangat menyayangkan putusan bebas yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) kepada Samin Tan. Bagi ICW dan Koalisi Bersihkan Korupsi, vonis bebas bagi pelaku korupsi yang disebut crazy rich Indonesia ini jadi preseden buruk pemberantasan korupsi.
Peneliti ICW Lalola Easter mengungkapkan Samin Tan merupakan buron yang melarikan diri dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Mei 2020, hingga akhirnya ditangkap oleh Tim KPK pada 5 April 2021. Anehnya Samin Tan justru menerima putusan bebas dari Majelis Hakim Mahkamah Agung.
Menurutnya, ini bisa jadi preseden buruk, pemberantasan korupsi di Indonesia. Putusan tersebut disampaikan pada 9 Juni 2022. Padahal Samin Tan didakwa secara alternatif menggunakan pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor atau Pasal 13 UU Tipikor.
"Ia dituduh karena memberikan gratifikasi sebesar Rp 5 miliar kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih. Gratifikasi tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, melalui Tata Maharaya, staf Eni Saragih," paparnya dalam keterangan, Ahad (19/6/2022).
Pemberian gratifikasi tersebut diduga dilakukan sebagai balas jasa kepada Eni Saragih yang telah membantu, PT. Asmin Koalindo Tuhup (PT AKT) yang merupakan subsidiary dari perusahaan milik Samin Tan, PT. Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM). Izin PT AKT diketahui dicabut oleh Kementerian ESDM karena diduga menjadikan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3, sebagai objek jaminan pinjaman kepada Standard Chartered Bank.
ICW melihat ada keanehan dalam pertimbangan majelis hakim. Dalam pertimbangan majelis hakim pengadilan tingkat pertama, diketahui bahwa Samin Tan dibebaskan karena tidak memenuhi dakwaan jaksa sebagai pemberi gratifikasi kepada Eni Saragih.
"Dasar pertimbangannya adalah, karena UU Tipikor tidak mengatur secara khusus pasal mengenai pemberi gratifikasi, tidak seperti pasal pemberi suap yang diatur secara jelas," ungkapnya.
Anehnya, menurut dia, Majelis Hakim Kasasi di Mahkamah Agung menguatkan putusan tersebut dan menyatakan bahwa Samin Tan adalah korban pemerasan Eni Saragih. Lalola menilai rangkaian putusan ini dapat berakhir menyesatkan, karena ini bukan kali pertama seorang pemberi gratifikasi dijerat menggunakan UU Tipikor.
Seperti sebelumnya, Simon Gunawan Tanjaya dalam kasus korupsi yang menjerat Mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, serta M. Bukhori dan Harjanto sebagai pemberi gratifikasi kepada Mantan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman merupakan beberapa contoh pemberi gratifikasi yang dijerat dengan UU Tipikor.
Selain itu, ia menilai, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung tidak mendalami dan mempertimbangkan secara serius kepentingan Samin Tan dalam pengurusan pencabutan izin PT AKT. Sebagai ultimate beneficial owner dari PT AKT, jelas bahwa Samin Tan memiliki kepentingan atas pembatalan pencabutan izin PT AKT oleh Kementerian ESDM, meskipun ia tidak tercatat sebagai pengurus perusahaan.
"Karena pada akhirnya, jika izin perusahaan dikembalikan, keuntungan PT AKT yang kembali beroperasi, akan mengalir ke Samin Tan," imbuhnya.
Beleid beneficial onwership di Indonesia telah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Perpres 13/2018). Perpres ini mengatur tentang definisi korporasi dan beneficial onwership (BO), kewajiban korporasi untuk melaporkan BO-nya, kriteria BO, dan akses informasi BO untuk instansi terkait dan publik.
"Sehingga, seharusnya penegak hukum dalam kasus ini maupun kasus lain serupa, harus mem-fokuskan Samin Tan sebagai ultimate beneficial ownership. Dimana kasus Samin Tan ini juga seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat implementasi BO di Indonesia yang masih tertatih-tatih," tegasnya.
Data dari Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang dikutip dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) per 29 Maret 2022 menunjukkan masih rendahnya kepatuhan korporasi dalam melaporkan BO-nya dimana dari 2.346.788 korporasi yang terdaftar, hanya 617.851 korporasi (26,33 persen) yang melapor.
Padahal, keberadaan data BO dapat dimanfaatkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) untuk membangun pemecahan kasus korupsi yang menggunakan modus penyamaran perusahaan. Selain itu, implementasi BO di Indonesia juga perlu diperkuat dari sisi regulasinya, yang masih sebatas Perpres.
Karena itu ICW dan Koalisi Bersihkan Indonesia mendorong agar KPK melakukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Dimana KPK perlu melakukan eksaminasi terhadap dakwaan jaksa dan putusan PN dan MA.
"Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung juga perlu mengambil langkah tegas jika ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh majelis hakim tingkat pertama maupun kasasi," terangnya.
Ke depan, Lalola berharap aparat penegak hukum mengarusutamakan Beneficial Ownership. Langkah ini sebagai sebuah pendekatan dalam membangun penyelesaian kasus korupsi. Pemerintah mempercepat dan memperkuat implementasi BO di Indonesia, dan menjadikan pelaporan BO sebagai syarat perizinan di semua sektor.