REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR dalam waktu dekat bakal membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak yang salah satunya memuat hak cuti melahirkan enam bulan dan cuti suami selama 40 hari. Pengusaha berharap agar kajian mendalam terkait kebijakan itu karena bisa berdampak negatif terhadap kondisi pasar tenaga kerja.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengatakan, kebijakan baru tersebut akan menyangkut pada produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha.
Sarman menegaskan, psikologi pengusaha harus dijaga karena mereka yang akan menjalankan kebijakan tersebut. Pengusaha juga memiliki kesiapan dan kemampuan jika RUU itu disahkan.
"Jangan sampai nanti pengusaha mensiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak karena harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil," kata Sarman dalam keterangan tertulisnya diterima Republika.co.id, Kamis (23/6/2022).
Sarman menambahkan, pun jangan sampai kebijakan ini akan semakin menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang sudah jauh tertinggal.
Data dari Asian Productivity Organization (APO) yang dikeluarkan pada tahun 2020 menunjukkan posisi produktivitas per pekerja Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan tengga Singapura dan Malaysia. Indonesia berada diurutan 107 dari 185 Negara.
Pertimbangan berikutnya dari sisi pelaku usaha UMKM, data Kementerian koperasi dan UKM tahun 2019 mencatat jumlah tenaga kerja UKM sebanyak 119,6 juta orang setara dengan 96,92 persen total tenaga kerja Indonesia. Sisanya 3,08 persen berasal dari usaha besar.
Adapun, pelaku UMKM memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang. "Bisa dibayangkan jika pekerja wanitanya cuti selama 6 bulan dan harus mengeluarkan gaji selama cuti tersebut apakah dari sisi financial UMKM tersebut memiliki kemampuan? Hal seperti ini harus menjadi pertimbangan dan perhatian karena akan menyangkut nasib 60 juta UMKM kita," kata dia.
Adapun, bagi pelaku usaha kelas menengah dan besar serta dilingkungan pemerintah masih besar kemungkinan kebijakan ini dapat diterapkan.
Sarman menambahkan, dari sisi kesehatan usulan kebijakan itu harus didukung. Namun, dampak yang ditimbulkan juga harus dipikirkan dan solusinya.
"Wacana cuti hamil selama enam bulan dan cuti suami 40 hari harus mempertimbangkan dari berbagai aspek mulai tingkat produktivitas, kemampuan pelaku usaha, dan dampak terhadap pelaku UMKM," ujar dia.
Pihaknya juga berharap agar sinkronisasi RUU tersebut dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dilakukan secara cermat sehingga tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang nantinya membingungkan pelaku usaha. Pembahasan RUU itu juga wajib melibatkan pelaku usaha dari berbagai sektor dan kelas sehingga nantinya dapat merumuskan kebijakan dan tepat dan produktif.