KAKI BUKIT – Apa itu stunting? Mencari jawabannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ditemukan kosakata tersebut. Namun kata “stunting” itu kerap ditemukan dalam sambutan para pejabat sampai berita di media massa.
Jika stunting dianggap berasal dari bahasa asing yaitu Bahasa Inggris kata ini memiliki arti “menakjubkan” atau “pengerdilan” atau “kerdil.” Dalam KBBI ditemukan ada kata “kerdil” yang artinya “selalu kecil saja; tidak dapat menjadi besar (tentang orang, binatang, tumbuhan, dan sebagainya) karena kekurangan gizi atau karena keturunan.”
Di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan (Sumsel) ternyata stunting adalah kasus atau masalah yang dihadapi pemerintah daerah setempat. Penjabat (Pj) Bupati Muba Apriyadi memberikan arti kata stunting sebagai kondisi gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis dan stimulasi psikososial serta paparan infeksi berulang terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Untuk mengatasi masalah tersebut dengan menekan angka stunting mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Muba tersebut menyatakan, harus melibatkan semua elemen, masyarakat khususnya pemerintah daerah sebagai motor dari pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan permasalahan tersebut.
“Pemerintah Kabupaten Muba akan terus memaksimalkan program kerja untuk menekan angka stunting. Semua harus fokus kita agar Muba bisa bebas dari stunting,” katanya.
Salah satu upaya untuk menekan angka stunting Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muba melalui Dinas Perikanan membagikan ikan segar gratis kepada ratusan warga yang berada di tiga kecamatan yakni Sungai Keruh, Plakat Tinggi dan Keluang. Ada tiga jenis ikan yang dibagikan, yaitu ikan patin, ikan lele dan ikan nila.
Melalui pembagian ikan segar tersebut, akan menjadi sumber protein hewani yang merupakan bagian dari aksi intervensi gizi pencegahan dan penurunan stunting pada balita, ibu hamil dan menyusui.
Pembagian ikan segar akan dibagikan kepada warga selama lima bulan, sejak Juni hingga Oktober 2022. Setiap bulannya, warga menerima pembagian ikan segar secara gratis dua kali yakni pada pekan pertama dan pekan ketiga setiap bulannya. Warga akan meneima satu orang sebanyak tiga kilogram ikan air tawar. Selama pemberian bantuan tersebut Dinas Perikanan Muba bersama puskesmas setempat akan memonitor dan mengevaluasi kesehatan penerima bantuan ikan segar.
Menurut Apriyadi, dalam program mencegah stunting dengan pembagian ikan segar tersebut sekaligus menjadi kampanye gemar makan ikan. “Dengan mengkonsumsi ikan banyak manfaat bagi tubuh, seperti mengurangi peradangan, membantu melindungi jantung, meningkatkan kesehatan mata dan lainnya.”
Stunting dan Gizi
Menurut badan kesehatan dunia atau WHO pengertian stunting yaitu anak yang mengalami cacat pertumbuhan dan perkembangannya. Anak mengalami kekurangan gizi buruk, infeksi berulang dan stimulasi psikologisosial yang tidak memadai. Ada juga yang menyebut stunting adalah balita pendek.
Atau stunting dapat juga diartikan sebagai keadaan kekurangan gizi berdasarkan indikator tinggi badan berdasarkan usia dan pada negara berkembang sering terjadi pada kelompok anak balita. Permasalahan stunting yang terjadi pada balita akan mempengaruhi kondisi balita pada tahap siklus kehidupan selanjutnya.
Untuk masyarakat awam agar lebih mengerti apa itu stunting? Kementerian Kesehatan dalam “Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018” menyebutkan bahwa stunting merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. (Kemenkes, 2018).
Stunting memiliki konsekuensi ke depan pada anak yaitu kemampuan kognisi dan perkembangan fisik yang rendah sehingga berdampak pada kapasitas anak saat dewasa nanti, stunting dapat berdampak pada produktivitas anak setelah dewasa. Selain itu anak yang stunting rentan terhadap berbagai penyakit degeneratif saat dewasa. Dampak stunting tidak hanya ada pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Hasil penelitian mempredikasi dampak terjadinya stunting pada anak yaitu kerugian psikososial dan kesehatan mental pada anak-anak akan berakibat hilangnya PDB sampai 300 triliun rupiah setiap tahunnya.
Mengutip peneletian Yuliastini, S. R. I., & Sudiarti, T dalam “Current Research in Nutrition and Food Science Factors Related to Stunting among Children Age 6-59 Months In Babakan Madang Sub-District , West Java, Indonesia” (2020), hal ini menjadi masalah serius terhadap masa depan bangsa dan negara, karena anak-anak sekarang adalah masa depan bangsa dan negara.
Menurut Dimitrova, A., & Muttarak, R. dalam “After the floods : Differential impacts of rainfall anomalies on child stunting in India. Global Environmental Change” (2020), faktor stunting sangat kompleks atau banyak, faktor utama adalah kurang pangan atau gizi tetapi faktor lainnya seperti pemberian makanan tidak tepat, layanan kesehatan yang buruk, dan sanitasi yang buruk juga penting
Dari data dihimpun UNICEF dan WHO, salah satu yang permasalahan gizi yang dialami anak adalah stunting yaitu dapat menyebabkan anak terhambat dalam berkembang, dengan menimbulkan akibat buruk yang yang akan terjadi dalam waktu yang akan datang seperti berkurangnya aspek inteletual anak, menyebabkan penyakit menular, daya produksi yang dihasilkan akan lebih rendah sehingga dapat mengakibatkan kemiskinan dan risiko melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR).
BBLR sendiri termasuk faktor penyebab tingginya AKB (angka kematian bayi) di suatu negara. PBB menyatakan tahun 2019 AKB di Indonesia ada 21,12 persen, kasus ini masih termasuk tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara yang lainnya.
Stunting dapat dengan mudah diketahui jika seorang balita sudah melakukan pemeriksaan fisik dengan diukur tinggi badannya lalu dibandingkan dengan tinggi badan standar. Balita yang termasuk ke dalam balita stunting adalah balita dengan status hasil pengukuran panjang atau tinggi badan menurut usia dan dibandingkan dengan standar baku WHO didapat nilai Z-score kurang dari -2 SD dan termasuk kedalam kategori sangat pendek jika didapat nilai Z-score kurang dari -3 SD.
Indonesia pada tahun 2013 menjadi negara terbesar kelima dengan prevalensi tertinggi kasus stunting. Saat itu Indonesia menghadapi masalah gizi utama, yaitu tingginya stunting pada balita, terdapat sebanyak 8,9 juta anak atau satu dari tiga anak dengan status gizi stunting. Pada tahun 2011 terdapat 165 juta orang di seluruh dunia anak dengan status gizi stunting.
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (2017), masalah balita pendek dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu rumah tangga yang tidak memiliki akses air minum bersih, pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, bayi berat badan lahir rendah (BBLR) ≤ 2.500-gram lahir dengan selamat dan rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas sanitasi yang layak.
Sementara menurut Bappenas dalam “Rencana Aksi Nasional Dalam Rangka Penurunan Stunting” (2018), terjadinya stunting dipengaruhi oleh banyak faktor, baik secara langsung seperti rendahnya asupan gizi dan status kesehatan, sedangkan penyebab tidak langsung seperti faktor pendapatan dan kesenjangan ekonomi, sistem pangan, sistem kesehatan, urbanisasi, dan lain-lain.
Dari multif faktor yang sangat beragam tersebut membutuhkan intervensi yang paling menentukan yaitu pada 1000 HPK (1000 hari pertama kehidupan ).
Faktor Penyebab stunting juga dipengaruhi oleh pekerjaan ibu, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, pola asuh, dan pemberian ASI eksklusif. Faktor lainnya, stunting juga disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti pendidikan ibu, pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink dan zat besi, riwayat penyakit infeksi serta faktor genetik.
Menurut Meylia KN dkk dalam “Fine motor, gross motor, and social independence skills among stunted and non stunted children” (2020), umumnya stunting terjadi karena rendahnya pendapatan dan produksi pangan, yang dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi. Stunting terjadi sebagai akibat dari kondisi yang terus-menerus seperti kemiskinan, karena pendapatan mempengaruhi dukungan gizi keluarga dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan formal.
DT Rahayu dalam penelitiannya berjudul “Anemia Pada Kehamilan Dengan Kejadian Stunting Di Desa Gayam Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Anemia In Pregnancy With Stunting In Gayam Village DISTRICT GURAH KEDIRI. 7” (2021) bahwa status sosial ekonomi dapat mempengaruhi kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Penelitian lain juga menegaskan bahwa tingkat ekonomi orang tua yang rendah mempengaruhi perkembangan masalah gizi dan stunting dibandingkan dengan orang tua yang tingkat ekonominya lebih tinggi. Tingkat ekonomi dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap terjadinya stunting, karena dipengaruhi oleh tingkat pendapatan orang tua dan pengeluaran pangan rumah tangga.
Upaya penurunan prevelensi balita pendek (stunting) sudah menjadi salah satu prioritas pembanguan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015-2019 dengan target penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita adalah sebesar 28 persen.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama 2015-2017, stunting di Indonesia memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah status gizi lainnya seperti gizi kurang, gizi kronis, obesitas dan lainnya. Prevalensi balita pendek tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2016 sebesar 27.5 persen menjadi 29.6 persen.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Jumlahnya mencapai 36,4 persen. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 angkanya terus menurun hingga 23,6 persen.
Khusus Provinsi Sumatera Selatan menurut data Dinas Kesehatan Sumsel pada tahun 2019 ada dua kabupaten. Kota yang masuk dalam zona merah stunting. Tahun 2020 mengalami peningkatan sebanyak empat wilayah sehingga menjadi enam daerah yang masuk dalam zona merah stunting dari 160 daerah se-Indonesia.
Sedangkan berdasarkan rincian data per tahun 2018 balita yang mengalami stunting pada 17 kabupaten/kota di Sumsel itu adalah Kabupaten Lahat 48,10 persen, Ogan Ilir 43,90 persen, Pali 39,50 persen, Empat Lawang 36,00 persen, Musi Rawas 34,60 persen, Muara Enim 34,40 persen, Muratara 33,20 persen, OKU 33,20 persen, Lubuk Linggau 32,00 persen, Pagar Alam 31,90 persen, Musi Banyuasin 31,10 persen, OKI 30,60 persen, Banyuasin 29,30 persen, OKU Timur 27,20 persen, OKU Selatan 26,40 persen, Prabumulih 26,20 persen, Palembang 25,90 persen.
Kabupaten Muba sebagai daerah yang kaya dengan penghasilan dari sektor migas dan perkebunan di bawah kepemimpinan Penjabat Bupati Apriyadi dapat melakukan intervensi lebih dalam menekan angka stunting dengan melibatkan perusahaan migas dan perusahaan perkebunan yang ada di daerah itu. Perusahaan yang ada di Muba bisa mengalokasikan dana atau program CSR dengan membagi kepeduliannya pada masalah penanganan gizi atau stunting khususnya kepada warga yang ada di sekitar lokasi perusahaan.
Jika Dinas Perikanan membagikan ikan segar, Penjabat Bupati Apriyadi bisa mendorong perusahaan besar di Muba dengan program CSR untuk memberikan bantuan asupan gizi kepada keluarga miskin selain program pembangunan fisik dan program lainnya.
Stunting adalah permasalahan gizi yang dihadapi dunia khususnya pada negara miskin dan berkembang. Stunting adalah kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai dengan usia 24 bulan.
Masyarakat juga belum menyadari stunting sebagai suatu masalah dibandingkan dengan permasalahan kurang gizi lainnya. WHO merekomendasikan penurunan stunting sebesar 3,9 persen pertahun dalam rangka memenuhi target 40 persen penurunan stunting pada tahun 2025. Dengan intervensi yang konsisten di bawah kepemimpinan Apriyadi maka Muba bisa menekan angka stunting. (maspril aries)