REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil meminta DPR memperhatikan dan mempertimbangkan suara penolakan daerah otonomi baru (DOB) oleh orang asli Papua (OAP). Sementara, Komisi II DPR bersama pemerintah dan DPD telah membahas tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan mulai Rabu (22/6/7), kemarin.
Perwakilan Petisi Rakyat Papua Sekber Jabodetabek, Nico Sol, mengatakan, pembentukan provinsi baru di Papua berangkat dari Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) yang tidak didasarkan pada kebutuhan OAP. Pasalnya, kata dia, revisi UU Otsus Papua tidak melibatkan OAP.
"Kami orang Papua bingung dengan dalil kesejahteraan yang dimaksudkan oleh pemerintah pusat, sebab pemerintah pusat dan DPR RI melakukan revisi UU Otsus tanpa melibatkan OAP, dan revisi UU Otsus semata-mata demi memuluskan kepetingan eksploitasi SDA (sumber daya alam) melalui pemekaran di Papua," ujar Sol dalam keterangan tertulis yang telah dikonfirmasi Republika.co.id, Kamis (23/6/2022).
Otsus diklaim hadir sebagai resolusi konflik, tetapi kata Sol, cara pandang pemerintah pusat lebih pada kesejahteraan semata. Sementara, menurut Sol, orang Papua membutuhkan pengakuan harkat dan martabat, bukan pembentukan DOB.
"Sebab kesejahteraan akan berhasil ketika adanya penegakan HAM (hak asasi manusia) di Tanah Papua," tutur dia.
Sol menyatakan, pemerintah seharusnya terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap Otsus, alih-alih melakukan kebijakan pemekaran. Menurutnya, otsus dan pemekaran belum terbukti mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Papua.
Di samping itu, Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan, paradigma kesejahteraan yang dijalankan oleh negara kerap dibarengi dengan pendekatan keamanan (operasi militer). Menurut dia, hal itu tidak sejalan dengan upaya untuk mendorong perdamaian dan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.
Ia mengkhawatirkan apabila kebijakan pemekaran wilayah baru di Papua akan digunakan untuk membenarkan penambahan kehadiran militer di Papua. Hal itu dinilai berpotensi meningkatkan eskalasi kekerasan dan berujung pelanggaran HAM.
“Jika ada tiga provinsi baru maka biasanya akan diikuti dengan pembentukan tiga Kodam dan satuan-satuan baru juga di bawahnya yang tentunya akan berdampak pada meningkatnya jumlah pasukan militer di Papua. Di tengah upaya penyelesaian konflik dan kekerasan militer yang jalan di tempat dan problem akuntabilitas operasi militer di Papua, pembentukan satuan teritorial baru dan peningkatan jumlah pasukan berpotensi meningkatkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua,” kata Hussein.
Selanjutnya, Manajer Kajian dan Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi, Satrio Manggala, memperingatkan pembentukan DOB dapat memperluas krisis lingkungan di Tanah Papua. Dengan adanya pemekaran dan didukung UU Cipta Kerja, menurut dia, maka makin memudahkan ekspansi perusahaan sawit, tambang, hutan tanaman industri (HTI), dan logging atau penebangan yang beroperasi di Papua.
"Penyusutan luas hutan dalam dua dekade terakhir menyumbang 2 persen kehilangan hutan di Papua," ujar Satrio.
Dia memerinci, 28 persen luas hutan dibuka untuk industri perkebunan (pulp dan kelapa sawit), 23 persen untuk ladang berpindah, 16 persen tebang pilih, 11 persen untuk perluasan sungai dan danau, 15 persen untuk perkotaan dan perluasan jalan, 5 persen kebakaran, dan 2 persen untuk pertambangan.
Direktur Program Public Virtue Research Institute (PVRI) untuk Demokrasi dan Keadilan-Sosial, Moh Hikari Ersada, menyampaikan, untuk dapat mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan di Papua, dibutuhkan paradigma yang lebih demokratis dan bijaksana. Daripada menganggap aspirasi OAP sebagai ancaman instabilitas, berupa ancaman teritorial dan eksistensial terhadap persatuan dan kesatuan Indonesia.
"Aspirasi dan penolakan OAP terkait DOB harus dipertimbangkan. Paranoia pemerintah pusat yang menganggap aspirasi dan pendapat mereka sebagai ancaman instabilitas teritorial dan eksistensial menjauhkan pemerintah dari upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang demokratis guna mendorong perdamaian dan kesejahteraan Papua," ucap Hikari.
Selanjutnya, dia juga mengingatkan supaya pemerintah tidak melanjutkan proses legislasi yang terkesan terburu-buru ini. Menurutnya, pembahasan DOB di tengah situasi Papua yang sedang bergejolak justru kontraproduktif terhadap upaya mendorong perdamaian dan kesejahteraan.
“Revisi kedua UU Otsus Papua dan kebijakan DOB ini telah menimbulkan situasi yang kontraproduktif. Setidaknya dalam bulan Maret hingga Mei saja sudah terjadi 10 demonstrasi penolakan di Papua yang menelan dua korban jiwa di Yahukimo. Proses legislasi ini akan terkesan ugal-ugalan jika terus dipaksakan sebab cenderung dominan dengan paradigma pembangunan yang bersudut pandang Jakarta," jelas Hikari.
Gina Sabrina dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Nasional menyoroti proses pembahasan RUU Pemekaran Provinsi Papua yang digelar secara tertutup oleh Komisi II DPR hari ini. Menurut dia, hal itu menunjukkan proses pembentukan RUU tersebut dilakukan secara cacat tanpa partisipasi yang bermakna dari publik, secara khusus OAP yang akan terdampak langsung dari pemekaran wilayah tersebut.
"Sudah seharusnya pembahasan dilakukan secara terbuka agar publik khususnya OAP dapat mengikuti rapat dan memberikan pandangan terhadap rencana pemekaran oleh pemerintah tersebut," kata Gina.