REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Aparat telah mengusut kasus dugaan penistaan Holywings. Sebagian pihak yang bertanggungjawab juga sudah ditahan. Banyak cabang Holywings di berbagai daerah yang ditutup dan dicabut izin operasinya.
"Apakah akar masalahnya selesai? Tentu kita patut mengapresiasi sikap responsif aparat dan berbaiksangka atas keseriusan pemerintah mengusut kasus ini. Semoga benar-benar sampai tuntas kepada penegakan hukum yang maksimal sehingga berdampak pada efek jera bagi siapapun," kata Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persis, Ustadz Jeje Zaenudin kepada Republika.co.id melalui keterangan tertulis, Rabu (29/6/2022).
Meski demikian, menurut Ustadz Jeje, bukan berarti masalah penistaan simbol-simbol suci agama ini sudah berakhir dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini sampai pada akarnya.
Hal ini sebab banyak faktor dan kepentingan lain yang terus memanfaatkannya dengan berbagai cara dan dari berbagai aspek. Ada kemajemukan pemahaman antar agama, konflik ideologi, politik, hingga ekonomi.
"Yang paling berbahaya menurut hemat saya, dalam setiap kasus penistaan agama ini, ada dua hal. Pertama, ada upaya yang sistematis untuk membongkar asas kehidupan berbangsa bernegara kita yang berbasis agama Ketuhanan Yang Mahaesa, yang faktanya adalah mayoritas Muslim," tutur Ketua MUI ini.
Kedua, Ustadz Jeje melanjutkan, ada upaya terus menerus meliberalisasi dan sekularisasi opini publik dengan cara mendesakralisasi simbol suci agama. Kemudian menstigmatisasi penganut agama yang taat sebagai ancaman radikalisme, intoleran, dan ekstrem yang ujungnya difitnah sebagai akar terorisme.
Karena itu, Ustadz Jeje menilai, akar masalah dari maraknya penistaan agama ini yang harus diwaspadai dan dilawan oleh seluruh umat beragama adalah gerakan yang mirip konspirasi untuk "memonsterisasikan" agama dan umat beragama. Yang bernafsu menjadikan agama dan beragama sebagai sesuatu yang buruk dan intoleran yang tidak diperlukan dalam kehidupan bernegara.
"Maka selain pemerintah harus tegas dan konsisten dalam penegakan hukum, seluruh masyarakat beragama, khususnya umat Islam wajib bersatu melawan gerakan anti agama dan gerakan anti Islam yang diusung para ekstrimis liberal, sekuler, dan ateis," kata dia.
Ustadz Jeje mengatakan, kegagalan menghentikan gerakan Islamofobia akan berdampak salah satu dari dua keburukan yang sama-sama menghancurkan kehidupan umat dan bangsa. Pertama, dipaksa menerima maraknya narasi dan perilaku penistaan pada agama dan diam demi atas nama toleransi, keharmonisan, HAM dan demokrasi. Dengan hal ini pula dipuji sebagai Muslim yang moderat, toleran dan pro-NKRI.
"Meski dengan seperti itu kita telah mengkhianati agama kita dan telah khianat pada kesepakatan pendiri bangsa. Kedua, kita semua bersatu melawan dan menghentikan gerakan ini dengan cara yang benar secara agama dan sesuai koridor konstitusi, membela hak-hak agama kita. Meski dengan sikap demikian bangsa kita dikecam sebagai bangsa yang intoleran, bangsa fanatik, ekstrem, dan stigma-stigma buruk lainnya," jelasnya.
Pada setiap kasus penistaan agama, terang Ustadz Jeje, masyarakat seperti selalu menjadi uji coba calo-calo survei dunia tentang corak keagamaan. Seberapa besar prosentase yang sudah pro-liberal, sekuler, dan ateis, dan seberapa besar yang masih tetap konservatif, intoleran, dan radikal.
"Mungkin dalam pikiran kaum penista agama, kalaupun mereka tidak bisa merubah opini publik tentang ketidak sucian agama, tapi mereka telah berhasil menunjukkan pada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih radikal dan intoleran dalam agama," ujarnya.
Baca juga : Dirumahkan, Karyawan Holywings Masih Dapat Gaji Bulan Ini
Dengan demikian, masih terus dibutuhkan bantuan finansial yang besar kepada kelompok dan LSM pro-liberal dari negara-nagara Barat, untuk proyek liberalisasi dan sekularisasi Muslim Indonesia.
"Di sisi lain, mereka berhasil memancing kelompok-kelompok radikal intoleran keluar dari sarangnya dan memetakan lembaga-lembaga dan ormas-ormas pendukungnya untuk segera dituduh sebagai musuh negara. Benarkah seperti itu? Bukan hal mustahil," paparnya.