REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Ketua umum Pewarta Foto Indonesia (PFI), Jerry Adiguna, menyebutkan apa yang telah dilakukan oleh siswa-siswa SMAN 6 terhadap para wartawan pada peristiwa tawuran kemarin sebagai tindakan pelecehan terhadap profesi jurnalistik. Hal itu diungkapkan Jerry pada konferensi pers siang tadi di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih.
Kronologi yang dipaparkan oleh pihak pelapor dalam rilisnya menerangkan, brutalitas para siswa itu berawal dari perampasan kaset video peliputan tawuran milik wartawan Trans 7, Oktoviardi, Jumat lalu. Menurut dia, tindakan itu dipicu oleh rasa takut para siswa atas tindakan mereka yang gemar tawuran itu diekspos oleh media.
Ahad (19/9), beberapa wartawan mengadakan aksi solidaritas di depan SMAN 6 Jakarta. Pada waktu itu, Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol Hando, memfasilitasi pertemuan antara wartawan dengan Kepala Sekolah SMAN 6 Jakarta, Kadarwati Mardiutama di halaman sekolah tersebut.
Dalam pertemuan itu, wartawan mempertanyakan perihal kaset video peliputan milik Oktoviardi yang dirampas oleh oknum siswa sekolah itu. Wartawan diberi kesempatan untuk melakukan identifikasi foto siswa SMA 6 Jakarta yang diduga melakukan perampasan tersebut.
Saat proses identifikasi itulah terjadi kekisruhan antara siswa dengan wartawan. "Perampasan kaset dan tindakan kekerasan yang dilakukan para siswa itu jelas-jelas sebuah pelecehan terhadap profesi jurnalis," ujar dia.
Sayangnya, lanjut dia, pihak kepolisian membiarkan kekerasan terhadap para wartawan itu terjadi. Akibatnya, 10 wartawan terluka, 2 di antaranya mengalami luka serius di bagian kepala. Aksi kekerasan kemarin juga berakibat hancurnya satu unit mobil Trans TV. "Tindakan brutal itu seolah-olah dimaklumi oleh pihak aparat sebagai tradisi, ini sangat disayangkan," ujar dia depan para waratawan.
Pada kesempatan yang sama, wakil dari Poros Wartawan Jakarta, Wahyu Widodo, yang juga ikut hadir pada pertemuan dengan kepala SMAN 6 Jakarta kemarin mengatakan wartawan datang dengan maksud damai. Namun, Widi (sapaan akrabnya) tidak menyangka pertemuan itu akan berujung pada aksi brutal yang dilakukan para siswa.
"Kami benar-benar tidak mengira reaksinya seperti itu, karena yang kami kunjungi itu lingkungan terpelajar, bukan daerah yang sedang dilanda peperangan." katanya.