REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tengah mengkaji permasalahan divestasi tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara jatah 2010 yang belakangan ini diwarnai aksi-aksi unjuk rasa.
Sebanyak enam orang anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dikoordinir Baiq Dyah Ratu Genefi asal Nusa Tenggara Barat (NTB), mengawali kajian permasalahan divestasi saham itu dengan pertemuan koordinasi dengan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) H. Badrul Munir dan jajarannya, di Mataram, Kamis petang.
Dalam tim DPD itu terdapat Wakil Ketua Komite II dr Budi Doku asal Gorontalo, sementara empat anggota Komite II DPD lainnya masing-masing Ethan Aisyah Hentihu asal Maluku, Djasarmen Purba asal Kepulauan Riau, I Kadek Arimbawa asal Bali dan Pdt Elion Number asal Papua.
Genefi mengatakan, DPD ingin mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan proses divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) jatah 2010 yang diwarnai beragam aksi massa.
Bahkan, Budi Doku menegaskan bahwa beragam aksi massa yang belakangan ini mencuat baik di Jakarta maupun di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat, rentan memicu konflik besar seperti yang pernah terjadi di Sumatera.
"Kami juga tidak ingin polemik divestasi saham Newmont itu berkembangk menjadi konflik besar seperti terjadi di Sumatera. Karena itu, kami ingin menyerap informasi sebanyak-banyaknya dan menyikapinya sesuai kewenangan DPD," ujar Budi.
Menyikapi keinginan Komite II DPD itu, Wakil Gubernur NTB, Badrul Munir, menginformasikan akar permasalahan yang melatarbelakangi polemik terkait perusahaan tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Pulau Sumbawa itu.
Menurut Badrul, terdapat dua permasalahan pokok yakni proses divestasi tujuh persen saham PTNNT jatah 2010 senilai 271,6 juta dolar AS atau setara dengan sekitar Rp2,5 triliun, yang dikehendaki pemerintah daerah namun belum dikabulkan pemerintah pusat.
Permasalahan lainnya yakni adanya tuntutan revisi Kontrak Karya (KK) perusahaan tambang PTNNT yang dianggap belum banyak memihak daerah.
"Dua permasalahan itu yang menjadi tuntutan daerah dan adanya keinginan Pemerintah Kabupaten Sumbawa yang memposisikan hak pembelian tujuh persen saham itu sebagai harga mati, yang tak bisa ditawar-tawar," ujarnya.
Karena itu, kata Badrul, Pemkab Sumbawa Barat sepertinya mengharuskan operasi tambang PTNNT dihentikan sementara waktu jika pemerintah pusat tidak memenuhi keinginan pemerintah daerah.
Badrul juga mengemukakan bahwa adanya kekhawatiran berbagai pihak jika operasi tambang PTNNT ditutup tanggal 19 April sesuai keinginan Pemkab Sumbawa Barat, merupakan hal yang wajar sebagai bagian dari aspirasi daerah yang patut disikapi pemerintah pusat.
"Memang ada kekhawatiran, tapi itu bagian dari aspirasi. Kami (Pemprov NTB) pun berupaya melakukan pembinaan-pembinaan agar investasi tetap berjalan sesuai harapan semua pihak," ujarnya.
Dalam rapat koordinasi itu, tim Komite II DPD juga mendengar berbagai masukan dari para kepala dinas teknis terkait, seperti Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB H. Mokhlis yang mengungkapkan upaya "pembujukan" terhadap Pemkab Sumbawa Barat, agar tidak serta-merta menutup operasional PTNNT.
Menurut Mokhlis, jika operasional PTNNT ditutup maka akan ada pengangguran baru ribuan orang.
Dia menyebut karyawan PTNNT mencapai 8.490 orang, terdiri dari 4.200 orang yang bekerja dalam kawasan tambang dan 4.351 orang yang bekerja di sektor terkait usaha penambangan atau usaha-usaha lain yang berkaitan dengan perusahan tambang itu.