Kamis 07 Jul 2022 01:10 WIB

MA Ingatkan Keadilan Restoratif Harus Kedepankan Prinsip Kehati-hatian

Pihak terkait dinilai perlu membuat standardisasi implementasi keadilan restoratif.

Red: Agus raharjo
Wakil Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Gorontalo AKBP Fammudin (kedua kiri) menyaksikan pelapor dan terlapor berjabat tangan pada pertemuan proses Restorative Justice atau keadilan restoratif di Polda Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Senin (30/5/2022). Polda Gorontalo menerapkan Restorative Justice dalam kasus dugaan pencemaran nama baik melalui media sosial untuk memberikan kepastian, keadilan dan kebermanfaatan hukum di tengah masyarakat.
Foto: ANTARA/Adiwinata Solihin
Wakil Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Gorontalo AKBP Fammudin (kedua kiri) menyaksikan pelapor dan terlapor berjabat tangan pada pertemuan proses Restorative Justice atau keadilan restoratif di Polda Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Senin (30/5/2022). Polda Gorontalo menerapkan Restorative Justice dalam kasus dugaan pencemaran nama baik melalui media sosial untuk memberikan kepastian, keadilan dan kebermanfaatan hukum di tengah masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mahkamah Agung (MA) mengingatkan semua pihak bahwa penerapan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian suatu perkara harus mengedepankan prinsip kehati-hatian. "Harus hati-hati karena asasnya pidana itu ada keterlibatan negara," kata Hakim Agung Kamar Pidana MA Suharto pada diskusi bertajuk Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restoratif di Indonesia di Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Ia mengkhawatirkan dalam penerapan keadilan restoratif, negara terlalu bersifat perdata yang hakikatnya damai menyelesaikan sengketa. Padahal, dalam hukum pidana, damai tidak menyelesaikan sengketa karena peran negara ialah menjaga ketertiban umum.

Baca Juga

Oleh karena itu, ujar dia, pembuat undang-undang dalam hal ini KUHP membedakan delik umum dan delik aduan. Dalam delik aduan, pencabutan tuntutan masih bisa dilakukan selama 90 hari. Sementara, apabila perkara tersebut merupakan delik umum, maka tidak ada upaya pencabutan perkara.

Hanya saja, bila terjadi perdamaian antara korban dan terdakwa serta harus diselesaikan melalui pengadilan, hakim bisa mempertimbangkan menjadi sesuatu yang meringankan. Secara umum MA melihat penerapan keadilan restoratif adalah sesuatu yang menarik. Sebab, pengadilan adalah tempat terakhir pemutus suatu perkara.

Jika sebuah kasus bisa diselesaikan di tahap penuntutan atau penyidikan, maka masalah tersebut tidak akan sampai di pengadilan. Sementara itu, Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif menilai pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu membuat standardisasi yang sama terkait implementasi keadilan restoratif.

"Keadilan restoratif ini jadi prioritas pemerintah namun kita belum memiliki standar yang sama dalam hal implementasi," kata Laode M Syarif.

Dengan dijadikannya keadilan restoratif sebagai prioritas pemerintah, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung juga melakukan hal yang sama dalam penegakan hukum di Tanah Air. Ia mengatakan apabila tidak ada kesamaan standardisasi keadilan restoratif, maka akan menimbulkan kesenjangan. Dampaknya, implementasi di kepolisian, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung akan berimbas pada lembaga pemasyarakatan (lapas).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement