Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dr Adnan Ibrahim, cendekiawan Muslim asal Palestina yang saat ini bermukim di Austria, menceritakan, “Ada seorang artis bercerita pada saya.
Suatu kali dia bersama ayahnya shalat berjamaah di masjid dan ikut mendengar ceramah dari imam masjid. Para jamaah yang hadir tentu mengenal artis tersebut dan berbagai film yang dibintanginya.
Sebagian mereka mulai berpandangan sinis pada sang artis. Tapi dia berusaha cuek. Ironisnya, ketika memberikan ceramah, sang imam menggunakan bahasa-bahasa menyindir yang jelas diarahkan pada dirinya dan ayahnya.
Artis itu berkata, “Hampir saja saya sekeluarga keluar dari Islam setelah mengalami peristiwa itu.”
Terlepas dari apa film yang dibintangi sang artis dan bagaimana kehidupannya yang sesungguhnya, tapi persepsi masyarakat pada dunia artis memang cenderung negatif. Padahal profesi artis tidak selalu identik dengan dosa. Sebagaimana ‘profesi’ ustadz juga tidak selalu identik dengan ketakwaan.
Namun yang sangat disayangkan adalah cara masyarakat, bahkan sebagian ustadz dan tokoh agama, dalam memandang sebuah maksiat. Seolah-olah orang yang melakukan maksiat adalah sosok yang kotor dan harus dijauhi.
Padahal mereka tahu bahwa hati para makhluk hanya Sang Khaliq yang tahu. Sejak dulu, para ulama -terutama kalangan Sufi- selalu berpesan :
انْظُرْ إِلىَ النَّاسِ بِعَيْنِ الْحَقِيْقَةِ وَانْظُرْ إِلَى نَفْسِكَ بِعَيْنِ الشَّرِيْعَةِ “Lihatlah pada orang lain dengan kacamata hakikat, dan lihatlah pada dirimu dengan kacamata syariat.”
Dalam bahasa yang lebih ‘tajam’ dan ‘berani’, ada yang mengungkapkannya dengan :
انْظُرْ إِلىَ النَّاسِ بِعَيْنِ اللهِ “Lihatlah orang lain dengan ‘kacamata’ Allah.”
Baca juga: Bukti-Bukti Meyakinkan Mualaf Gladys Islam adalah Agama yang Paling Benar
Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله, seorang tokoh yang banyak dirujuk kalangan yang agak anti pada sufi, bahkan menguraikan ada 31 (tiga puluh satu) hikmah di balik terjadinya sebuah maksiat yaitu mengapa Allah SWT membiarkan seorang hamba jatuh pada maksiat, kenapa tidak dihalangi antaranya dengan maksiat itu. Di antara hikmah tersebut adalah :
Pertama, Allah SWT mencintai orang-orang yang bertobat dan bergembira dengan tobat mereka karena gembira dengan tobat mereka itu Allah SWT menetapkan dosa terhadap hamba-Nya. Hamba yang mendapat ‘inayah dan hidayah akan bertobat setelah maksiat itu.