Pendidikan adalah hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi dan diperhatikan oleh negara. Sebab, bagaimana kualitas suatu bangsa juga dilihat dari bagaimana kualitas pendidikan yang dimilikinya. Mampu menghasilkan generasi emas yang tak hanya paham ilmu dunia, namun juga berlandaskan kepada aqidah dan tujuan akan akhirat.
Namun sayang, di Indonesia sendiri pendidikan masih menjadi suatu permasalahan yang kurang diperhatikan dengan baik oleh negara. Seperti yang terjadi belakangan ini, di mana pemerintah mulai memberlakukan sistem zonasi sekolah dalam mengenyam bangku pendidikan. Yang tentu saja banyak mengejutkan banyak pihak serta menimbulkan masalah baru di kalangan masyarakat.
Ketua DPD Aliansi Jurnalis Hukum (AJH) Kota Medan, Taufiq Hidayah Tanjung, mengatakan sistem zonasi sangat merugikan peserta didik. Sebab, bagaimanapun yang namanya sekolah favorit di Kota Medan ini masih ada karena fasilitas sekolah negeri di Kota Medan tidak merata.
Masih banyak SMP negeri yang kalau hujan banjir, perpustakaan tidak lengkap, komputer tidak lengkap sehingga mau try out UNBK harus bekerja sama dengan pihak ketiga. Artinya, di Kota Medan sendiri fasilitas pendidikan yang memadai belum sepenuhnya didapatkan oleh semua pihak.
Dilansir dari sentralberita (19/7), Ketua Komisi II DPRD Medan, HT Bahrumsyah, menilai Dinas pendidikan Kota Medan tidak memiliki formulasi menyikapi Permendikbud 51/2018 tentang PPDB melalui zonasi. Bahrumsyah menuturkan, diyakini anak didik yang memiliki prestasi namun tinggal di wilayah terpinggirkan akan tertingal karena ada pemberlakuan zonasi, seperti kawasan kumuh di Kecamatan Medan belawan.
Artinya, solusi yang diberikan pemerintah dalam mengatasi persepsi masyarakat mengenai sekolah favorit dan non-favorit bukanlah solusi yang tuntas sampai ke akarnya, dan malah berpeluang terjadinya kesenjangan atau ketidakadilan untuk mendapatkan fasilitas yang berkualitas.
Zonasi sekolah sendiri dianggap sebagai suatu solusi agar masyarakat menganggap bahwa semua sekolah memiliki mutu dan kualitas yang baik, sehingga tidak ada lagi istilah sekolah favorit dan non-favorit. Namun sayang, solusi ini semakin menambah permasalahan baru di dunia pendidikan Indonesia. Akibat adanya sistem zonasi banyak peserta didik yang tidak dapat bersekolah di sekolah yang ia inginkan atau sekolah yang dianggap memiliki kualitas yang baik.
Sistem zonasi sekolah memang bukanlah suatu solusi yang buruk, namun jika kita melihat kembali kualitas pendidikan di Indonesia termasuk Kota Medan, zonasi sekolah bukanlah solusi yang mengatasi masalah sampai ke akarnya.
Saat ini kita dapat melihat bahwa masih kurangnya pemerataan sarana dan prasana yang mendukung. Di sekolah favorit cenderung lebih memiliki dewan guru yang berkualitas. Bahkan, sistem zonasi ini menimbulkan banyak permasalah baru seperti ada sekolah yang muridnya membludak namun di sisi lain ada yang kekurangan siswa, hingga mengakibatkan sebagian anak yang tidak lulus di suatu sekolah harus mengalami putus sekolah akibat pendaftaran sekolah yang sudah tutup.
Pengirim: Fadilah Rahmi, Mahasiswi FKIP UMSU