BPJS sejak diluncurkan per januari 2014, BPJS memang sudah menuai kontroversi. Akhirnya terbukti bahwa konsep BPJS akan rawan defisit. Konsep BPJS tegak atas dasar Public Private Partnership (PPPs) / Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) sebagai perwujudan good governance khususnya dalam tata kelola sistem kesehatan dan pelayanan publik, justru menjadi sinyal bahwa BPJS berpotensi mengeruk keuntungan sebagaimana konsep korporasi. Untuk menutupi defisit yang terjadi, rakyatlah yang terbebani.
Mengutip dari Republika.co.id (6/9), Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI. Iuran program jaminan kesehatan nasional itu diusulkan naik mulai 1 Januari 2020 guna menambal defisit keuangan BPJS yang mencapai Rp 32,8 triliun.
Adapun, usulan kenaikan mencapai 100 persen atau dua kali lipat. Untuk pengguna BPJS kelas Mandiri I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per peserta per bulan. Lalu, iuran kelas Mandiri II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 110 ribu. Sedangkan, iuran kelas Mandiri III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.
Berdiri atas konsep Public Private Partnership (PPPs) / Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) adalah masalah mendasar BPJS. Konsep good governance yang menyerahkan pengurusan kemaslahatan rakyat kepada pihak korporasi, adalah implementasi kerangka pikir kapitalistik.
Seluruh konsep yang diadopsi dari sistem ini, menjadikan pemerintah mereduksi fungsinya sebagai pelayan rakyat. Pemerintah sendiri pada akhirnya hanya mengambil posisi sebagai regulator dan fasilitator dalam mengatur urusan rakyatnya, seraya menyerahkan pemenuhan hajat hidup rakyat ditangan korporasi.
Alhasil, jadilah negara kita berwujud negara korporasi yang bukannya melayani pemenuhan kebutuhan rakyat, negara justru menjadikan pemenuhan kebutuhan rakyatnya sebagai ladang bisnis.
Kesehatan adalah hal yang vital untuk menunjang produktivitas manusia. Seharusnya negara hadir, memberikan jaminan pelayanan kesehatan terbaik dan cuma-cuma bagi rakyatnya, bukan malah menjadikannya sebagai lahan bisnis, atau bahkan diserahkan pada swasta lokal maupun swasta asing. Sehingga negara tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hubungan antara negara dan rakyatnya bagai penjual dan pembeli.
Seharusnya negara benar-benar mengurusi urusan rakyatnya bukan malah semakin membebaninya rakyatnya dengan menaikkan berbagai kebutuhan rakyat. Negara akan bisa mengurusi urusan rakyatnya dengan baik jika negara mengunakan aturan yang paling cocok dengan umat manusia, yaitu aturan dari Sang Pencipta, Allah SWT.
Pengirim: Nanik Ika R, S.Pd, Guru Kediri