REPUBLIKA.CO.ID, IOWA – Seorang pasien di rumah sakit Missouri dinyatakan meninggal dunia setelah tertular Primary Amebic Meningoencephalitis (PAM), amuba pemakan otak yang langka. Departemen Kesehatan dan Layanan Senior Missouri menduga amuba itu didapat di sebuah danau di Iowa, AS.
Karena kasus infeksi amuba sangat jarang, departemen tersebut tidak berencana merilis informasi apa pun yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien. Sementara itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS menyebut bahwa seseorang yang tertular PAM bisa berakibat fatal. Perenang dapat tertular infeksi jika mereka terkena amuba Naegleria fowleri yang ditemukan di air tawar hangat.
Tanda-tanda infeksi N fowleri mungkin terlihat mirip dengan meningitis bakteri yang membuatnya lebih sulit untuk didiagnosa. Meningitis lebih sering terjadi karena perenang hanya dapat terinfeksi N fowleri jika amuba memasuki hidung dan bermigrasi ke otak. Orang tidak dapat terinfeksi hanya dengan menelan air yang terkontaminasi yang akan mengirim amuba ke usus daripada ke otak.
Gejala awal PAM biasanya muncul dalam sepekan setelah paparan hidung. Dilansir di Insider, Selasa (19/7/2022), tanda-tanda awal infeksi meliputi sakit kepala bagian depan yang parah, demam, mual, hingga muntah.
Kebanyakan pasien meninggal dalam satu sampai 18 hari setelah timbulnya gejala. Infeksi berkembang dengan cepat karena amuba menghancurkan jaringan otak yang sehat, menyebabkan gejala seperti leher kaku, kejang, status mental berubah, halusinasi, dan koma.
PAM relatif sulit didiagnosis karena hanya beberapa laboratorium di negara ini yang dilengkapi untuk menguji amuba. Sebagian besar kasus didiagnosis setelah pasien meninggal. Hanya empat orang Amerika yang selamat dari infeksi
CDC telah mengidentifikasi total 154 kasus PAM sejak badan tersebut mulai memantau infeksi pada tahun 1962. Empat pasien dari AS diketahui selamat dari infeksi yakni satu pada 1978, dua pada 2013, dan satu pada 2016.
Pada 2013, seorang gadis 12 tahun dirawat di rumah sakit dan memulai perawatan hanya 36 jam setelah jatuh sakit. Dia didiagnosis dengan cepat dan menerima miltefosine, obat eksperimental yang sedang diselidiki pada saat itu. Pembengkakan otaknya dikelola dengan terapi pendinginan, di antara perawatan lainnya.
Protokol yang sama digunakan untuk merawat seorang anak laki-laki berusia 16 tahun pada 2016. Kedua pasien pulih sepenuhnya dan dapat kembali ke sekolah. Namun, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun yang juga dirawat pada 2013 tidak juga sembuh.
Dia dirawat dengan miltefosine tetapi bukan hipotermia terapeutik, dan perawatannya dimulai beberapa hari setelah gejalanya dimulai. Meski sang anak selamat, ia mengalami kerusakan otak yang kemungkinan permanen.