REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Perdebatan mengenai mana yang lebih digemari antara Marvel dan DC tidak pernah berakhir. Hal itu telah berlangsung sejak kedua perusahaan memasuki kesadaran kolektif budaya pop, di mana penggemar akan membela studio favorit pribadinya dengan penuh semangat.
Memang cukup sukar menentukan perusahaan mana yang mengeluarkan konten terbaik. Kedua studio memiliki kelebihan dan kesalahannya sendiri-sendiri. Selain itu, nuansa film dan cerita berbeda yang diusung di semesta sinematik masing-masing tak bisa dikomparasikan begitu saja.
Meskipun demikian, membandingkan keduanya dianggap membantu karena menjadi cara untuk menyoroti hal-hal yang dapat dilakukan oleh setiap waralaba dengan lebih baik. Sebagai contoh, secara objektif DC mengeluarkan beberapa entri hebat beberapa tahun terakhir.
Dilansir Game Rant, Selasa (2/8/2022), The Batman jadi film yang bisa diandalkan DC untuk menyalip Marvel dalam hal popularitas dan kualitas. Sementara, Marvel terkesan sedikit tanpa arah setelah akhir dari Infinity Saga, tepatnya usai era Avengers: Endgame, dengan banyak cerita yang ujungnya belum tersambung.
Itu membuat fase empat Marvel Cinematic Universe (MCU) terasa berantakan dan tidak koheren, meskipun film dan kontennya banyak mengusung cerita bagus. Jika diteruskan, ada potensi penggemar bakal lelah dan jenuh dengan bombardir konten yang tak terarah.
Di masa lalu, Marvel lazimnya merilis sekitar dua hingga tiga film per tahun. Jeda di antara waktu perilisan memberi penggemar waktu untuk mendiskusikan konten dan membangun antisipasi. Namun, sejak MCU mulai terjun ke TV dengan Disney Plus, semua berubah.
Marvel merilis konten secara terus-menerus. Sepertinya ada acara atau film baru setiap bulan, dengan hampir tidak ada ruang bernapas di antara waktu tersebut. Marvel semestinya sadar bahwa terlalu banyak konten bukan hal baik, karena bahkan penggemar berat pun perlu berinvestasi secara emosional di setiap rilisan baru.
Penonton mungkin bosan dengan formula Marvel di mana setiap film terasa hampir sama dalam hal nada dan gaya humor. Bisa saja mereka mencari sesuatu yang berbeda, dan itulah celah yang bisa diisi DC dengan konten yang umumnya condong ke arah nuansa lebih gelap.
Tidak heran jika DC menggunakan kesempatan ini sebagai waktu yang tepat untuk mengambil tempat Marvel sebagai pemimpin dalam film yang mengadaptasi buku komik. Dengan pijakan goyah Marvel, sepertinya mungkin ada perubahan yang menarik di mana DC akhirnya mampu muncul di depan kompetisi.
Tentu saja, ini juga bergantung pada kesuksesan DC untuk mampu terus mengeluarkan konten segar sebagus The Batman. Selama ini, DC kurang bermurah hati dengan kuantitas rilisnya, yang merupakan hal yang baik pada saat ini.
Itu membuat rilisan film yang akan keluar penuh hype dan antisipasi. DC dapat menggunakan langkah tersebut untuk keuntungan perilisan, selain menjaga film-filmnya tetap bermutu tinggi. Tentu saja, selalu ada kemungkinan bahwa rilisan DC akan tersesat di antara petak konten seperti Marvel, tetapi proyek mereka selalu terasa sangat berbeda dari MCU.
Jelas, mahkota Marvel akan sulit diambil. Marvel telah memonopoli genre film superhero sejak sekitar 2008, dan itu bukan posisi yang mudah direbut. Secara ideal, kedua studio bisa eksis tanpa perlu persaingan, terlebih banyak penggemar yang mencintai keduanya secara setara. Namun, ada juga banyak alasan menarik bagi Marvel dan DC untuk terus-menerus dibandingkan.