REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan resmi menambah kuota hak ekspor minyak sawit atau CPO bagi para eksportir yang telah menjalankan program domestic market obligation (DMO). Upaya tersebut demi mempercepat ekspor yang diharapkan berdampak pada peningkatan harga tandan buah segar (TBS) sawit petani.
Para eksportir yang menjalankan DMO semula diberikan hak kuota ekspor sebesar lima kali lipat dari volume DMO yang dijalankan. Kemudian dinaikkan menjadi tujuh kali lipat pada bulan lalu. Kini, Kemendag meningkatkan angka pengali menjadi sembilan kali lipat dari volume DMO.
Zulhas mengatakan, para eksportir yang mendistribusikan pasokan DMO dalam bentuk minyak goreng kemasan Minyakita bahkan bisa memperoleh kuota hak ekspor lebih besar. Yakni mencapai 13,5 kali lipat dari DMO.
"Kebijakan tersebut sudah berlaku sejak 1 Agustus 2022. Pendistribusian DMO divalidasi oleh tim lintas kementerian yang dilakukan setiap minggu dan hasilnya diperbarui ke dalam sistem SINSW untuk dapat diklaim menjadi dasar persetujuan ekspor oleh produsen," katanya melalui pernyataan resmi, Rabu (3/8/2022).
Ia menambahkan, pemerintah juga memberikan insentif pengali regional atas pendistribusian DMO minyak goreng ke wilayah tertentu. Khususnya, daerah-daerah yang pasokannya masih belum optimal seperti wilayah timur sehingga akan dapat meningkatkan kuota ekspor bagi produsen/eksportir.
“Kebijakan ini diterapkan untuk memenuhi pasokan minyak goreng di wilayah Indonesia timur yang saat ini masih minim dan distribusinya masih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, Kemendag juga telah melakukan penyesuaian kebijakan penerbitan harga referensi yang menjadi dasar penentuan pungutan ekspor dan Bea Keluar (BK) atas ekspor komoditas CPO dan produk turunannya dari sebulan sekali menjadi dua minggu sekali.
Pola perhitungannya juga diubah, sehingga akan didapat harga referensi yang lebih aktual mengikuti perkembangan harga CPO internasional.
Ia mengatakan, selain menstabilkan ketersediaan dan harga minyak goreng yang terjangkau di masyarakat, pemerintah akan terus berupaya meningkatkan harga TBS di tingkat petani.
"Dengan meningkatnya harga TBS di tingkat petani, terutama petani swadaya, petani akan tetap semangat untuk bercocok tanam dan mendapatkan kesejahteraan dengan harga lebih baik setidaknya di atas Rp 2.000 per kg," ujarnya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendorong pemerintah untuk segera membuat bauran kebijakan industri sawit nasional. Industri membutuhkan kebijakan pemerintah yang tak lagi menghambat ekspor CPO namun tetap memastikan pasokan minyak goreng dalam negeri terpenuhi.
Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono, memaklumi adanya kekhawatiran dari pemerintah jika kembali membebaskan ekspor CPO seperti sebelum adanya kewajiban domestic market obligation (DMO). Diketahui, Kementerian Perdagangan mewacanakan pencabutan DMO namun masih mempertanyakan komitmen pelaku usaha untuk tetap memenuhi pasokan dalam negeri.
"Nanti kalau ekspor dibebaskan, minyak goreng susah lagi? Makanya harus dibuat bauran kebijakan," kata Joko dalam sebuah webinar yang digelar Senin (1/8/2022).
Ia menegaskan, di satu sisi, ekspor harus bisa berjalan optimal. Sebab, kinerja ekspor CPO berkaitan dengan pendapatan devisa negara dan stabilitas harga tandan buah segar (TBS) petani. Indonesia kini adalah negara eksportir CPO. Karenanya, seharusnya tidak boleh terdapat hambatan agar ekspor lancar dan semakin besar.
Namun di sisi lain, pemerintah harus memiliki instrumen yang juga bisa memberikan kepastian terhadap ketersediaan minyak goreng dalam negeri dengan jumlah dan harga tertentu.
"Jadi harus satu paket, kita ingin ekspor tidak ada hambatan supaya berdampak pada kenaikan harga TBS, tapi di sisi lain jangan sampai ekspor berlebihan sebebas-bebasnya," kata Joko.
Seperti diketahui, awal mula diterapkannya kebijakan DMO pasca adanya kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga. Pada Mei 2022, pemerintah pun mengambil langkah melarang total ekspor yang berdampak pada jatuhnya harga TBS petani karena tak terserap oleh industri CPO.
Ia pun menyebutkan, kebijakan yang ideal untuk memastikan minyak goreng adalah fokus pada jenis minyak goreng untuk kelompok masyarakat tertentu. Dengan begitu, arah kebijakan pemerintah dapat lebih terarah.
Kebijakan DMO pun harus dihapus. Pasalnya, aturan itu terbukti menghambat ekspor secara kompleks. Sebab, DMO menuntut ketelusuran pasokan CPO dan minyak goreng sampai ke masyarakat. Padahal, itu bukan merupakan tanggung jawab para eksportir.