REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan, Intan Pratiwi, Antara
Konsumsi BBM jenis Pertalite dan solar konon akan sulit. Alasannya pemerintah sudah meminta kepada PT Pertamina (Persero) untuk dapat mengendalikan konsumsi BBM jenis Pertalite dan Solar. Pengendalian konsumsi bertujuan untuk menekan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pada tahun ini APBN sudah sangat dibebani oleh subsidi kepada masyarakat khusus subsidi energi BBM. "Anggaran subsidi khusus minyak Pertalite dan solar kita akan menghadapi tekanan dari perubahan nilai tukar dan deviasi harga minyak serta volume yang meningkat. Makanya Pertamina diminta untuk mengendalikan agar APBN tidak mengalami tekanan tambahan," ujarnya saat konferensi pers APBN Kita, Kamis (8/11/2022).
Pada Juli 2022 konsumsi BBM Pertalite sebanyak 16,8 juta kilo liter dari kuota yang ditetapkan tahun ini mencapai 23 juta kilo liter. Artinya, kuota BBM Pertalite itu tersisa hanya 6,2 juta kilo liter.
Sedangkan konsumsi BBM Solar Subsidi sebanyak 9,9 juta kilo liter dari rencana kuota tahun ini sebesar 14,91 juta kilo liter. Itu artinya kuota BBM Solar Subsidi tersisa 5,01 juta kilo liter.
Pemerintah telah mengeluarkan dana subsidi sektor energi dari APBN 2022 senilai Rp 502,4 triliun. Jika ada tambahan kuota BBM Pertalite dan solar maka ada tambahan subsidi energi dari yang dikeluarkan pemerintah tersebut.
Belanja subsidi telah dihadapkan kepada harga minyak yang terdeviasi sangat besar dari asumsi APBN, baik pada harga minyak maupun pada nilai tukarnya. Harga minyak dunia melonjak dari asumsi 63 dolar AS per barel menjadi di atas 100 dolar AS per barel, kemudian nilai tukar yang diasumsikan Rp 14.350 terhadap dolar AS meningkat jadi Rp 14.875.
Sri Mulyani juga merinci anggaran kompensasi energi meningkat dari Rp 48 triliun pada 2021 kini mencapai Rp 293 triliun, dengan pencairan pada semester I 2022 mencapai Rp 104,8 triliun. "Tahun lalu aja, semester I kita belum bayarkan serupiah pun khusus kompensasi, tahun ini semester I sudah Rp 104,8 triliun untuk menahan harga tidak naik," ucapnya.
Secara luas, subsidi mulai dari BBM, LPG, listrik, hingga pupuk telah meningkat menjadi Rp 116,2 triliun pada semester I 2022. Adapun jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya hanya Rp 99,6 triliun.
“Poin BBM, LPG, listrik, dan pupuk, pemerintah menahan guncangan yang sangat tinggi global dan tidak diubah di dalam negeri ini makanya kenapa belanja subsidi naik hanya dalam satu semester," ucapnya.
Biaya kompensasi energi tahun ini melonjak dibandingkan biaya kompensasi 2021 sebesar Rp 48 triliun. Biaya kompensasi yang dibayar pemerintah disebut shock absorber untuk menahan agar harga energi tidak naik.
Pada Juli 2022 realisasi belanja negara sebesar Rp 1.444,8 triliun atau 46,5 persen terhadap total APBN 2022. Adapun, total belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 490,7 triliun atau 51,9 persen dari total APBN. Sri Mulyani menuturkan belanja non-K/L nilainya cukup tinggi, yaitu Rp 540,6 triliun atau 39,9 persen terhadap APBN.
"Jangan lupa belanja non-K/L ini komponennya yang sangat-sangat penting yakni subsidi dan kompensasi BBM dan listrik. Ini sudah kami bayarkan seluruh kekurangan kompensasi dari tahun lalu," ucapnya.
Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah menyiapkan rencana cadangan atau "contingency plan" menghadapi rencana pengendalian BBM khususnya Pertalite. "DPR berharap pemerintah bergerak cepat menyiapkan rencana cadangan saat kuota Pertalite benar-benar kritis," kata Puan dalam keterangannya.
Dia mengatakan, tingginya konsumsi Pertalite terjadi akibat BBM jenis Premium ditiadakan sehingga rencana cadangan perlu dibarengi dengan penambahan anggaran subsidi BBM bagi rakyat yang memang sangat membutuhkan. Apalagi menurut dia, di sejumlah daerah sudah terjadi kelangkaan Pertalite dan menyulitkan masyarakat.
Puan menyatakan, negara tidak boleh membiarkan masyarakat kelas menengah ke bawah terpaksa "merogoh kantong lebih dalam" akibat kesulitan mendapatkan BBM. "Tentunya, ini akan memberatkan masyarakat kecil, terutama yang mata pencariannya sangat bergantung pada BBM jenis Pertalite. Perlu ada langkah luar biasa untuk mengatasi krisis Pertalite," ujarnya.
Di sisi lain menurut Puan, subsidi BBM sebenarnya sudah menyedot APBN hingga Rp502 triliun dan terancam membengkak karena angka konsumsi Pertalite diprediksi akan bertambah. Karena itu dia mendorong agar program pembatasan pembelian BBM bersubsidi segera dilaksanakan.
"Agar tidak semakin memberatkan APBN tapi juga tetap bisa digapai masyarakat menengah ke bawah, pembatasan pembelian BBM bersubsidi bisa menjadi solusi yang baik," katanya.
Puan meminta pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait semakin masif menyosialisasikan Program Subsidi Tepat Sasaran dan perlu cepat mengeluarkan regulasi terkait pembatasan BBM bersubsidi. Menurut dia, melalui langkah tersebut subsidi dari Pemerintah, termasuk alokasi tambahan anggarannya benar-benar tepat sasaran diberikan kepada masyarakat yang berhak memperolehnya.
Sementara itu, PT Pertamina tak bisa berbuat banyak untuk membatasi konsumi Pertalite yang hari ini merupakan barang bersubsidi. Pertamina bahkan masih menunggu regulasi terkait siapa-siapa saja yang berhak menerima subsidi. Tanpa itu, Pertamina tak bisa melakukan pembatasan sepihak karena tak ada payung hukum yang melindungi.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menjelaskan saat ini yang bisa dilakukan Pertamina hanya melakukan pembatasan melalui skema pendaftaran melalui tautan milik Pertamina. Upaya itu setidaknya kata Irto mampu menjadi database Pertamina terkait siapa siapa saja yang mengonsumsi Pertalite.
"Pembelian BBM subsidi ini perlu diawasi secara digital, salah satunya dengan proses pendaftaran saat ini, yang hingga hari ini pendaftaran mencapai lebih kurang 600 ribu kendaraan. Kita sudah membuka lebih dari 1.300 titik booth pendaftaran. Melalui pengawasan digital, kita mampu telusuri siapa saja pembeli BBM bersubsidi, supaya penyaluran BBM tepat sasaran," ujar Irto kepada Republika.
Irto menjelaskan realisasi Pertalite hingga juli solar subsidi sudah tersalurkan 16,8 juta kilo liter, dari kuota 23 juta kilo liter. Hal ini tak ditampik oleh Irto jika tidak segera dilakukan pembatasan maka akan membebani APBN, meski disatu sisi Pertamina tak mungkin melakukan penyaluran karena sudah menjadi kewajiban Pertamina.
"Pengaturan BBM harus segera dilakukan. Secara paralel kami juga menunggu revisi perpres 191/2014. Memang Harus segera diatur. Agar bisa tepat sasaran," tambah Irto.