Selasa 16 Aug 2022 03:00 WIB

Suara Ojol dan Opang Tolak Harga Pertalite Naik: 'Membunuh Rakyat Miskin'

Masyarakat bersiap-siap jika nanti pemerintah memutuskan harga BBM naik.

Rep: Febryan. A/ Red: Agus Yulianto
Pengendara motor mengantre untuk mengisi bensin Pertalite di Jakarta, Ahad (14/8/2022). Kementerian Keuangan meminta PT Pertamina (Persero) untuk mengendalikan BBM subsidi jenis Pertalite agar tidak semakin membebani APBN. Tercatat hingga Juli 2022 bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite sudah disalurkan 16,8 juta kiloliter dari kuota 23 juta kiloliter. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengendara motor mengantre untuk mengisi bensin Pertalite di Jakarta, Ahad (14/8/2022). Kementerian Keuangan meminta PT Pertamina (Persero) untuk mengendalikan BBM subsidi jenis Pertalite agar tidak semakin membebani APBN. Tercatat hingga Juli 2022 bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite sudah disalurkan 16,8 juta kiloliter dari kuota 23 juta kiloliter. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pengemudi ojek pangkalan (Opang) maupun ojek online (Ojol) tak setuju dengan wacana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), terutama pertalite. Pemerintah diketahui sudah berancang-ancang menaikkan harga BBM seiring melonjaknya harga minyak mentah dunia. 

Madi, seorang pengemudi opang, seketika terperanjat ketika Republika menanyakan pendapatnya soal wacana kenaikan BBM. Dia baru mengetahui informasi tersebut. Pria berusia 40 tahun itu langsung blak-blakan menolak wacana tersebut. 

"Saya nggak terima lah kalau naik. Pendapatan kami aja sekarang udah ngab-ngab, masa pertalite mau dinaikin," kata Madi ketika ditemui di tempat mangkalnya di Perempatan Bintang Mas, kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Senin (15/8). 

Madi bercerita, penghasilannya per hari rata-rata hanya Rp 50 ribu. Sebanyak Rp 20 ribu di antaranya dipakai untuk mengisi bahan bakar sepeda motornya dengan BBM jenis pertalite. Jika pemerintah menaikkan harga pertalite, tentu penghasilan yang bisa Madi bawa pulang jadi berkurang. 

Dia pun memastikan bahwa keluarganya akan terdampak. "Dampaknya pasti ke keluarga saya, gimana anak dan istri saya mau makan," kata Madi, dan diamini oleh empat rekannya yang juga sedang mangkal di perempatan itu. 

Madi berharap, betul pemerintah tak menaikkan harga pertalite. Dia ingin harganya tetap seperti sekarang saja Rp 7.650 per liter. Jika pemerintah tetak menaikkan harga, Madi akan ikut demonstrasi menuntut pemerintah membatalkannya. 

"Kalau pertalite benaran naik, artinya pemerintah mau membunuh rakyat miskin seperti saya ini. Demi anak, saya pasti akan ikut demo, bahkan saya siap buat bikin rusuh. Ini sudah masalah hidup mati," kata Madi dengan nada menggebu-gebu. 

Dua pengemudi ojol bernama Arif dan Udan juga menyampaikan penolakan serupa dengan Madi. Keduanya tak setuju harga pertalite naik karena akan membuat penghasilan mereka berkurang. 

"Dalam hati saya sudah pasti tidak setuju. Tapi saya bilang tidak setuju pun nggak bakal bisa juga mengubah keputusan pemerintah," kata Udan ketika ditemui di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 

Sementara itu, seorang pekerja swasta bernama Intan mengaku setuju-setuju saja dengan wacana kenaikan harga BBM. Sebab, dia memahami alasan pemerintah menaikkan harga BBM, yakni karena melambungnya harga minyak mentah dunia. 

"Tapi, jangan naik terlalu tinggi. Ya maksimal naik jadi 8 ribu lah, genapin aja udah," kata perempuan 27 tahun, yang setiap hari bolak balik dari Tangerang Selatan ke kantornya di Jakarta Pusat menggunakan sepeda motor itu. 

Sebelumnya, pemerintah telah berulang kali melontarkan wacana untuk menaikkan harga BBM. Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, telah berulang-ulang menyebut besarnya beban APBN untuk subsidi BBM. Sebab, anggaran subsidi terus bertambah seiring naiknya harga minyak mentah dunia. 

"Kita harus mensubsidi ke sana (harga BBM), dari Rp 152 triliun melompat kepada Rp 502 triliun. Ini besar sekali," ujar Jokowi di Samarinda pada akhir Juli lalu. 

Pekan lalu, giliran Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang menyinggung soal wacana kenaikan harga BBM. Dia meminta, masyarakat bersiap-siap jika nanti pemerintah memutuskan harga BBM naik. 

Menurut dia, jika harga BBM tidak naik, maka dampaknya adalah kondisi fiskal negara yang tidak sehat. Sebab, seperempat pendapatan negara (Rp 500 triliun) harus digunakan untuk subsidi BBM. 

Bahlil menjelaskan, ongkos untuk subsidi BBM melonjak karena harga minyak dunia sudah meroket akibat ketidakpastian global. Ia mencatat, harga minyak dunia rata-rata mencapai 105 dolar AS per barel dari periode Januari-Juli 2022. Padahal, asumsi harga minyak di dalam APBN hanya di kisaran 63-70 dolar AS per barel.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement