REPUBLIKA.CO.ID, Pagi itu, Rasulullah yang baru saja masuk kamar bergegas keluar kembali ketika sayup-sayup terdengar para sahabat membincangkan sesuatu.
Dari pojok masjid yang menyatu dengan rumah yang menjadi kamar beliau, Rasul yang mulia itu menghampiri dan duduk bersimpuh bersama. “Kayfa ashbahtum ya ashhaabii (bagaimana kabar kalian di waktu pagi ini)," tanya Rasul sopan.
"Ashbahna bil iimaan billah (pagi ini kami dalam keadaan diliputi dengan iman kepada Allah)," jawab salah seorang sahabat mewakili.
Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Rasul mengapresiasi jawaban sahabatnya itu dengan balik bertanya, "Maa 'alamatu iimaanikum (apa indikasi kalian benar-benar dalam keadaan iman)?"
"Kami benar-benar sabar dengan semua ujian Allah, (nashbiru 'alal balaa), kami pun senantiasa bersyukur atas semua limpahan karunia Allah (nasykuru 'alar rakhooi), serta kami sangat ridha atas takdir-Nya (wanardhoo bil qodari)," tegas seorang sahabat.
Dijawab Rasul sang mahaguru itu dengan bijak, "Antumul mu'minuuna haqqan (kalian benar-benar dalam keadaan iman yang benar)!"
Subhanallah, cerita yang ternukil dalam kitab klasik Nashooihul 'Ibaad ini menggugah rasa keimanan kita. Jika selama ini kita mendeklarasikan beriman kepada Allah maka jawaban sahabat Nabi harusnya menjadi rujukan atas indikasi benarnya keimanan kita.
Pertama, bersedia sabar atas semua ujian Allah. Sebagai manusia beriman, siapa pun dia, baik dari golongan orang berpunya maupun yang papa, pejabat atau orang biasa, ulama atau ustaz sekalipun, semuanya pasti akan diuji. (QS al-Baqarah 2: 214).
Bukankah orang terpuji karena teruji? Semakin banyak diuji dan ia berhasil dalam semua ujian itu maka pintu meraih keterpujian tinggal menghitung waktu. Kedua, senantiasa bersyukur atas semua karunia Allah.
Amal syukur ini sebenarnya bagian dari kasih sayang Allah karena ditegaskan dalam firman-Nya, "Jika kalian bersyukur, niscaya akan Aku tambah (nikmat-Ku) kepadamu.”(QS Ibrahim 7).
Asal yang mendasari adalah iman. Maka, amal syukur yang kita lakukan pasti berbuah manis dalam hidup kita. Sekaligus, pembuktian atas keabsahan iman kita. Ketiga, ridha dengan setiap ketentuan dan takdir Allah.
Keikhlasan dan kerelaan atas setiap peristiwa dan kejadian yang dipergilirkan dalam hidup kita, itu menjadi bukti atas keimanan kita di hadapan-Nya.
Karena, bagaimanapun semua kejadian di muka bumi, termasuk pada diri kita, telah ditetapkan jauh sebelum kehidupan ini berlalu dan semua dalam ilmu, pengetahuan dan izin-Nya. Dari sinilah kita diminta untuk bisa cerdas dalam mengambil hikmah di balik semua takdir-Nya.
Sebab, betapa pun takdir Allah adalah takdir Allah. Kita tidak mungkin menolak takdir-Nya. Hanya semoga kita diberi kesabaran dan kekuatan dalam mengeksplorasi bahasa hikmah di balik takdir-Nya. Wallahu 'Alam.