REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama ini film horor di Indonesia diketahui kerap mengangkat hantu dari sosok perempuan. Dosen Budaya Populer Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, Justito Adiprasetio, menilai bahwa hal itu menunjukan patriarki telah mengendap dalam budaya populer Indonesia.
Melalui bukunya, Memaksa Ibu Jadi Hantu, Justito dan Annissa Winda Larasati, mencoba memeriksa bagaimana perempuan terutama ibu, direpresentasikan dalam film horor Indonesia. Justito melihat sejak awal film horor diperkenalkan di Indonesia, perempuan itu merepresentasikan horor.
“Misalnya Lisa dan Beranak dalam Kubur merepresentasikan ibu dan corak keibuan memiliki sifat berelasi dengan horor segala macam,” kata Justito saat dihubungi Republika.co.id, dikutip Kamis (25/8/2022).
Ternyata seiring waktu, di era orde baru setelah reformasi, representasi ibu dalam film horor semakin menguat. Misalnya pasca reformasi 1998, lebih banyak lagi film yang mengeksploitasi sosok ibu.
Sosok ibu di sini bukan dalam peran domestik tapi ibu yang mengandung. Semakin banyak yang menampilkan hantu seperti kuntilanak, sundel bolong, di mana perempuan meninggal setelah diperkosa, sebagian ditampilkan punya anak.
“Hal ini yang coba kami eksplorasi, itu menunjukan patriarki mengendap dalam budaya populer kita dalam konteks film horor Indonesia,” lanjut Justito.
Hal yang digarisbawahi bahwa dunia perfilman juga sangat didominasi laki-laki, mulai dari produser, sutradara sampai bagian teknis. Alhasil pandangan laki-laki menjadi satu topik, meskipun ada pula sutradara perempuan yang akhirnya tetap tidak menghilangkan tatapan laki-laki patriarki itu atau masih bercorak patriarkis.
“Buat saya sih ini bukan satu-satunya tapi jadi semacam lonceng peringatan, petunjuk kita perlu menggeser tatapan-tatapan laki-laki yang patriarkis, menbangun bagaimaan folklor (cerita) tidak mengeksploitasi perempuan,” tambah dia.
Menurut Justito, satu hal menarik pula, banyak orang menyatakan hantu perempuan di film horor ditampilkan membalas dendam ke kaum laki-laku. Hal itu dinilai menjadi wujud eksistensi bahwa perempuan bisa balas dendam di film.
Justito melihat pola tersebut justru menunjukan “resistensi” tersebut tidak berhasil bahkan melalui pola yang sampai sekarang ditunjukan.
Hal yang patut diapresiasi bahwa film horor yg muncul sekarang, seperti halnya Pengabdi Setan, Perempuan Tanah Jahanam, berbeda dengan periode orde baru. Di luas sosok hantu perempuan, film-film tersebut tidak menunjukan bagaimana religi agama atau kiyai selalu menang.
Selain itu, menunjukan nilai moral, meskipun eksploitasi perempuan atau ibu tetap ada kontinuasi dari orde baru. Hal ini meskipun ornamennya berubah disebabkan oleh pengaruh film horor global Hollywood terutama Asia.
Pendekatannya tidak hanya mengadopsi pandangan laki-laki ketika mewakili horor. Flm horor Amerika punya varian lebih banyak. Di Indonesia, tidak banyak varian hantu laki-laki.
“Di Hollywood, korbannya perempuan blonde, dibunuh diperkosa, di kita hantu tetap perempuan kemudian diekspos, ini perlu diubah pendekatannya,” tambah dia.