Sampah plastik tidak hanya berbahaya bagi makhluk laut tetapi juga manusia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) mengungkapkan setiap tahun Indonesia menghasilkan 60 juta ton sampah dengan 17 persennya adalah sampah plastik yang sebagian besar berakhir di lautan. Padahal, sampah-sampah itu tidak hanya berbahaya bagi makhluk laut tetapi juga manusia.
Guna mencegah sampah-sampah berakhir di laut, pejabat pemerintah dan akademisi Indonesia yang mengikuti talkshow pra-pertemuan G20, Jumat (26/8/2022) menegaskan penerapan pendekatan ekonomi sirkular dapat membantu mengurangi sampah laut. "Saya yakin jika kita menggunakan ekonomi sirkular (sampah plastik di lautan) akan berkurang," kata Asisten Deputi Pengelolaan Sampah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rofi Alhanif dalam talkshow ini diselenggarakan CSEAS.
Selain Alhanif, talkshow yang berlangsung di Pulau Bali, Indonesia, Jumat, juga menghadirkan beberapa pembicara terkemuka lainnya. Mereka termasuk Alvaro Zurita, pemimpin tim proyek Uni Eropa-Jerman tentang “Memikirkan Kembali Plastik: Solusi Ekonomi Sirkular untuk Sampah Laut”; Ujang Solihin Sidik, pejabat senior Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Raldi Hendro Koestoer, Guru Besar Sekolah Lingkungan Hidup Universitas Indonesia; Arisman, direktur eksekutif CSEAS; dan Roger Spranz, salah satu pendiri Making Oceans Plastic Free.
Para pembicara memiliki kepedulian yang sama terhadap sampah laut di Indonesia karena setiap tahun. Menyikapi hal tersebut, Direktur Eksekutif CSEAS Arisman menyoroti pentingnya pemilahan sampah dan pengumpulan sampah terpilah untuk mengurangi sampah plastik.
“Kami membutuhkan modal sosial di desa untuk menerapkan ekonomi sirkular,” katanya, seraya menambahkan ekonomi sirkular adalah model produksi dan konsumsi, yang melibatkan berbagi, menyewakan, menggunakan kembali, memperbaiki, memperbarui, dan mendaur ulang bahan dan produk yang ada selama mungkin.
Ekonomi sirkular memiliki tiga prinsip utama: menghilangkan limbah dan polusi, mengedarkan produk dan material, dan regenerasi alam. "Dengan demikian, daur ulang plastik merupakan langkah penting menuju ekonomi sirkular, tetapi mencapai sirkularitas memerlukan tindakan di setiap titik dalam masa pakai suatu produk: dari desain hingga pengelolaan limbah," katanya.
Mengenai tujuan utama dari talk show tersebut, CSEAS mengungkapkan hal itu bertujuan untuk menjelaskan kebijakan dan pendekatan UE dan Indonesia dalam memajukan ekonomi sirkular plastik untuk mengatasi masalah sampah laut. Talkshow ini juga bertujuan untuk menunjukkan upaya yang dilakukan Indonesia dan beberapa kotanya untuk mengatasi masalah sampah plastik di laut dan mempromosikan penerapan ekonomi sirkular di Indonesia.
Bagi Indonesia yang menjadi presiden G20 tahun ini, isu terkait sampah laut menjadi penting mengingat negara-negara G20 yang merupakan ekonomi terbesar di dunia, menyumbang sekitar 75 persen penggunaan material global dan 80 persen emisi gas rumah kaca global. Pada tahun 2017, negara-negara G20 mengadopsi "Rencana Aksi G20 tentang Sampah Laut" di KTT Hamburg.
Setelah dua tahun, mereka mengadopsi “Osaka Blue Ocean Vision,” yang bertujuan untuk mengurangi polusi tambahan oleh sampah plastik laut menjadi nol pada tahun 2050 melalui pendekatan siklus hidup yang komprehensif. Pada tahun 2018, UE menetapkan target yang berani untuk kuota daur ulang plastik dan persyaratan konten daur ulang sebagai bagian dari strategi plastiknya.
"Ini (extended Producer responsibility atau EPR) semakin mendapat perhatian dan ada momentum sekarang di daerah. Ketika EPR tidak dipersoalkan lagi, apakah harus lebih dan bagaimana?" kata Zurita.