REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI--Kalangan perempuan berpotensi besar menjadi korban bencana. Sehingga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sukabumi mendorong kalangan perempuan siaga dan tangguh bencana.
'' Perempuan memiliki potensi dan peran yang sangat penting dalam penanggulangan bencana,'' ujar Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BPBD Kota Sukabumi, Zulkarnain Barhami, Rabu (7/9/2022). Peran tersebut dapat dijalankan dalam setiap tahapan penanggulangan bencana, mulai dari prabencana, saat tanggap darurat hingga masa pemulihan.
Di sisi lain lanjut Zulkarnain, perempuan memiliki risiko yang paling tinggi menjadi korban kemungkinan berhadapan dengan ancaman bencana yang lebih besar. Hal ini didasarkan kajian organisasi nirlaba yang berkedudukan di Inggris Oxfam.
Di mana lanjut Zulkarnain, setiap terjadi bencana alam, nonalam dan bahkan konflik sosial terdapat 60 sampai dengan 70 persen korban adalah perempuan dan anak serta lanjut usia, termasuk di dalamnya kelompok disabilitas. Sehingga perempuan harus diberikan peran baik sebagai fasilitator, penggerak, maupun tokoh yang peduli dalam arus utama penaggulangan bencana.
Terlebih lanjut Zulkarnain, Sukabumi bagian dari daerah rawan dengan aneka ragam jenis bencana. Sebagai contoh sampai dengan Agustus 2022 kejadian tercatat 108 kejadian, berdampak satu meninggal dari jenis perempuan.
Selain itu berdampak pada 13 orang mengungsi. Selanjutnya 667 unit bangunan rusak di antaranya 43 rusak berat, 165 unit rusak sedang dan 456 rusak ringan dengan prakiraan kerugian sebesar Rp 7.661 395.000 dengan akumulasi terdampak kurang lebih 916 jiwa.
'' Sekitar 94,7 persen merupakan anak-anak dan perempuan,'' ungkap Zulkarnain. Khusus untuk Agustus 2022 tercatat 7 kejadian yang meliputi cuaca ekstrem 4 kali, kebakaran 2 kali dan longsor 1 kali.
Dalam upaya mewujudkan keluarga tangguh bencana lanjut Zulkarnain, BPBD mensinergikan program peningkatan peranan wanita dan jeluarga sehat sejahtera. Dengan melakukan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) bencana bersama sama dengan DP2KBP3A, Dinas Sosial dalam tema penguatan peran wanita menuju keluarga tangguh bencana bagi para kader-kader wanita di Babakan Garung, Kelurahan Karangengah, Gunungpuih Senin (5/9/2022) lalu.
Menurut Zulkarnain, tingginya korban dari pihak perempuan dan anaknya karena masih minimya akses informasi dan keterlibatan perempuan dalam sosialisasi kebencanaan di tingkat level bawah. Hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya angka korban akibat kejadian bencana.
Zulkarnain mengatakan, ketidakhadiran perempuan dalam kegiatan pendidikan bencana, sosialisasi, penyuluhan, latihan atau simulasi kebencanaan membuat pengetahuan dan keterampilan mereka terkait pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi minim. Sebab, pengetahuan yang terbatas soal mengenal gejala alam dan teknik penyelamatan diri membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban bencana.
“ Perempuan dan anak-anak berisiko meninggal 14 kali lebih besar d daripada pria dewasa dan keluarga memberikan porsi sebesar 31,9 persen selamat saat golden time,'' ujar Zulkarnain. Data ini mengutip Kristina Peterson dalam Gender Issues in Disaster Responses dan penelitian Hansen terkait gempa bumi.
Lebih lanjut Zulkarnain mengajak kaum perempuan menguatkan kiprahnya berkiprah misalnya dengan membentuk Srikandi Tangguh Bencana paling tidak di tingkat keluarga. Caranya melakuan rencana kesiapsiagaan di rumah, melakukan pemetaan terhadap risiko risiko dan ancaman, menyediakan perlengkapan kedaruratan serta secara periodik seperti tas siaga sekaligus mempraktikkan apa yang telah disepakati bersama.
Hal tersebut kata Zulkarnain mengacu juga pad Perka Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di Bidang Penanggulangan Bencana. Intinya pengarusutamaan gender menjadi perangkat penting mengintegrasikan pendekatan gender di bidang penanggulangan bencana dengan semua lapisan.
Oleh karenanya lanjut Zulkarnain, diperlukan ragam pemberdayaan perempuan agar bisa mengurangi risiko bencana dan strategi penanganan bencana secara holistik. Dengan tidak mengenyampingkan responsif gender yang berbasis kepada hak korban.
Dimulai sambung Zulkarnain, dari tahap tanggap darurat sampai tahap pemulihan dan rekonstruksi. Sehingga jumlah korban dapat dicegah atau dikurangi dan hak-hak korban jiwa maupun korban selamat juga terlindungi.