REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) hingga Kamis (15/9/2022) mengungkap ada 91 kasus dugaan hepatitis akut yang tersebar 22 provinsi. Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril memerinci, dari 91 kasus dugaan tersebut 35 kasus berstatus probable, 7 pending, dan 49 discarded.
"Berarti di sini tersebar di 22 provinsi jadi tidak semuanya provinsi ada kasus hepatitisnya suspek atau pendingnya," kata dia dalam konferensi pers secara daring, Jumat (16/9/2022).
Syahril mengungkapkan dari 35 kasus probable, DKI menjadi penyumbang terbanyak sebanyak 12 kasus. Kemudian disusul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebanyak 3 kasus. Sementara untuk demografi, dari 42 pasien, 35 probable dan 7 pending jenis kelaminnya terbanyak laki-laki 30 orang dan 12 perempuan. Dengan kelompok usianya itu terbanyak adalah 0 sampai 6 tahun.
"Ada yang meninggal sebanyak 11 orang atau 26 persen dan sembuh sebanyak 52,3 persen," kata Syahril.
Syahril mengingatkan untuk memperhatikan gejala awal mulai dari sakit perut, mulas, mual, muntah. "Tentu dengan kewaspadaan ini, tapi juga jangan panik, itu akan lebih cepat penanganan pasien tadi," ujar Syahril
Syahril mengatakan, meski hingga saat ini belum diketahui penyebab pasti dari hepatitis akut, tetapi bisa dicegah agar tidak berlanjut. Karena itu, orang tua diharapkan tidak membiarkan anak mengalami gejala lebih berat seperti mata sudah menguning dan kesadaran menurun. Sehingga, penanganan kasus hepatitis akut ini bisa dilakukan lebih cepat.
"Tidak terlambat di pihak keluarga, tidak terlambat di fasilitas pelayanan kesehatan, tidak terlambat di fasilitas rujukan. Dengan penanganan secara berjenjang kita akan menekan angka kematian kasus yang diduga hepatitis akut ini," ujar Syahril.
Kementerian Kesehatan telah menunjuk laboratorium nasional di Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) untuk menerima seluruh rujukan sampel untuk pasien-pasien yang diduga hepatitis.
“Di laboratorium nasional ini telah dipersiapkam ketersediaan reagen atau KITnya untuk deteksi hepatitis, baik reagen metagenomik atau WGS maupun reagen PCR, baik panel respiratori maupun gastrointestinal,” tutur Syahril.