REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah jajak pendapat yang dirilis oleh Institute for Social Policy and Understanding (Ispu) menyebutkan bahwa Muslim Amerika memiliki kemungkinan yang sama seperti kelompok agama lain untuk bertugas di militer AS. Lebih khusus lagi, Muslim kulit putih lebih mungkin daripada non-Muslim kulit putih di antara masyarakat umum Amerika untuk bertugas di militer.
Menurut jajak pendapat, 17 persen banding 11 persen kemungkinan antara Muslim kulit putih dan non-Muslim kulit putih bertugas di militer. Temuan tersebut tercantum dalam Ispu's American Muslim Poll 2022: A Politics and Pandemic Status Report.
Sekitar empat dari lima Muslim di Amerika memegang kewarganegaraan AS. Namun, Muslim masih memiliki kemungkinan yang sama untuk bertugas di militer seperti halnya masyarakat umum Amerika.
Jajak pendapat menemukan bahwa 11 persen Muslim, 10 persen Katolik dan Protestan, 13 persen Evangelikal kulit putih, dan sembilan persen non-afiliasi dan masyarakat umum bertugas di angkatan bersenjata. “Temuan ini memberi tahu kami bahwa Muslim Amerika adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Amerika, jadi tidak mengherankan bahwa kami akan menemukan perwakilan Muslim di militer AS,” kata manajer proyek penelitian Ispu dan rekan penulis American Muslim Poll 2022 Erum Ikramullah, dilansir dari Middle East Eye, Rabu (21/9/2022).
Jajak pendapat tersebut juga menetapkan Muslim kulit putih (17 persen) lebih mungkin daripada Muslim Asia (4 persen) dan Muslim Arab (kurang dari 1 persen) untuk bertugas di militer. Ketika berbicara tentang Muslim kulit hitam, mereka sama seperti non-Muslim kulit hitam untuk bertugas di militer AS.
Angka-angka itu tampaknya tidak terpengaruh oleh intervensi AS di Timur Tengah yang sebagian besar Muslim. Pada Agustus, sebuah studi besar berjudul Introducing the Military Intervention Project: A New Dataset on US Military Interventions, 1776–2019, menyimpulkan bahwa intervensi militer AS "semakin" menargetkan Timur Tengah dan Afrika, yang mencakup lebih dari seperempat kampanye negara tersebut sepanjang sejarahnya.
“Sejak didirikan pada 1776 hingga 2019, AS telah melakukan hampir 400 intervensi militer, dengan lebih dari seperempatnya terjadi pada periode pasca-Perang Dingin,” menurut laporan tersebut.
Selain itu, juga ditemukan bahwa era pasca-9/11 mengakibatkan tingkat permusuhan yang lebih tinggi, dengan petualangan militer AS menjadi sangat biasa.