Selasa 27 Sep 2022 08:00 WIB

MA Dinilai Gagal Lakukan Pembinaan Usai Hakim Agung Terjerat Korupsi

MA harus menjadi contoh perilaku hakim yang baik melalui etika hingga putusan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati (kiri) saat dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Jumat (23/9/2022). Sudrajad Dimyati ditahan KPK usai menjalani pemeriksaan dan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung, yang sebelumnya KPK telah menahan tujuh dari sepuluh tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (21/9/2022) dengan barang bukti uang 205.000 Dollar Singapura dan Rp50 juta.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati (kiri) saat dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Jumat (23/9/2022). Sudrajad Dimyati ditahan KPK usai menjalani pemeriksaan dan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung, yang sebelumnya KPK telah menahan tujuh dari sepuluh tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (21/9/2022) dengan barang bukti uang 205.000 Dollar Singapura dan Rp50 juta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mengkritik kasus dugaan suap penanganan perkara di lingkungan Mahkamah Agung (MA) yang menjerat Hakim Agung Suradjad Dimyati. Azmi memandang kasus ini membuktikan gagalnya tugas pembinaan hakim oleh MA.

Azmi menyebut tertangkapnya Suradjad menunjukkan MA terperosok dalam lumpur korupsi. Ia prihatin karena peradilan digerogoti orang dalamnya sendiri.

Baca Juga

"Ketua Mahkamah Agung gagal besar dalam membina hakim dan aparatur peradilan secara baik dan benar, karena semestinya Ketua MA harus mampu mewujudkan peradilan yang bersih, jujur dan adil. Semestinya ketua MA mundur," kata Azmi kepada Republika.co.id, Senin (26/9/2022).

Azmi mengingatkan hakim adalah aktor sekaligus pelaksana inti dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. Sehingga, hakim tidak saja bertanggungjawab secara vertikal, namun harus bertanggungjawab secara horizontal.

Azmi menilai ketua MA harus menjadi contoh perilaku hakim yang baik. Caranya dengan mengubah skema reformasi MA. "Jangan lagi dengan pidato, wejangan, namun dengan etika, adab, arif, sadar diri, peningkatan pengetahuan, putusan yang berkualitas, bahwa ia jadi contoh keteladanan," ujar Azmi.

Selain itu, Azmi menyampaikan operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini semakin menambah deretan angka aparatur peradilan yang minim integritas. Bahkan OTT ini menurut Azmi membuat fungsi MA gagal karena tidak berhasil melakukan pembinaan hakim dan aparatur peradilan secara baik dan benar.

Termasuk fungsi KY yang belum maksimal dan tidak efektif dalam memilah hakim-hakim yang tidak berkualitas dan berintegritas. "Melalui OTT ini KPK sekaligus ingin memberikan pesan seperti inilah wujud potret buruk praktik penyelewengan pelaku peradilan sampai seorang hakim agung sekalipun masih saja berperilaku buruk," tegas Azmi.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan 10 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Hakim Agung MA Sudrajad Dimyati (SD); Hakim Yudisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP); dua orang PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH).

Lalu, dua PNS MA, yaitu Redi (RD) dan Albasri (AB); dua pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES); serta dua pihak swasta/Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).

Akibat perbuatannya, Sudrajad dan penerima suap lainnya, yakni DS, ETP, MH, RD dan AB disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b juncto Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan empat tersangka selaku pemberi suap, yaitu HT, YP, ES dan IDKS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement