Ahad 02 Oct 2022 07:56 WIB

BI Proyeksi Kenaikan BBM Kerek Inflasi 1,8-1,9 Persen

Penyumbang IHK terbesar masih inflasi inti, yaitu 65 persen.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Petugas mengisi bahan bakar minyak jenis Pertalite di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Kamis (29/9/2022). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan realisasi belanja subsidi per Agustus 2022 naik sebesar 16,8 persen menjadi Rp139,8 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) sebesar Rp119,7 triliun.
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Petugas mengisi bahan bakar minyak jenis Pertalite di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Kamis (29/9/2022). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan realisasi belanja subsidi per Agustus 2022 naik sebesar 16,8 persen menjadi Rp139,8 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) sebesar Rp119,7 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) terus memantau faktor-faktor pendorong kenaikan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) hingga akhir tahun. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Wahyu Agung Nugroho menyampaikan kenaikan harga BBM menjadi salah satu yang akan berdampak cukup signifikan.

"Kenaikan harga BBM pada awal September 2022 kita yakin akan ada dampaknya ke inflasi, tambahannya bisa mencapai 1,8-1,9 persen pada IHK 2022," katanya dalam Media Gathering Bank Indonesia di Bali, Sabtu (1/10/2022).

Baca Juga

Wahyu mengatakan penyumbang IHK terbesar masih inflasi inti yang menyumbang kontribusi hingga 65 persen. Sisanya hampir terbagi sama rata untuk administered price dan volatile food.

Secara tahunan, kelompok administered prices mengalami inflasi 6,84 persen (yoy) dan volatile food sebesar 8,93 persen (yoy). Inflasi volatile food ditargetkan bisa mencapai lima persen pada akhir 2022.

Posisi inflasi inti per Agustus 2022 tercatat sebesar 3,04 persen. BI memproyeksikan hingga akhir tahun inflasi inti bisa terkerek hingga 4,6 persen yang berasal dari rembetan inflasi administered price dan volatile food.

"Maka dari itu kita naikan suku bunga acuan 50 bps pada September 2022 untuk menjangkar inflasi inti ke sasaran semula 2-4 persen pada semester II 2023," katanya.

Kenaikan inflasi inti yang ditekan dengan kenaikan suku bunga acuan BI ini akan berdampak pada perlambatan ekonomi. Meski demikian, BI optimistis dengan kondisi fundamental nasional sehingga pertumbuhan ekonomi akan tetap tinggi pada 2022.

Wahyu mengatakan pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 4,5-5,3 persen pada 2022 dengan kecenderungan bias ke atas dari nilai tengah yakni sekitar 5,1 persen. Pertumbuhan ini dikontribusi oleh pemulihan ekonomi yang terus berlanjut, tingkat konsumsi tinggi yang diproyeksi capai enam persen, investasi, juga ekspor.

Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh kontribusi dari daerah. Salah satu yang sedang dalam proses pemulihan adalah Bali. Ekonomi Bali tumbuh 3,04 persen pada kuartal II 2022, naik dari 1,4 persen pada kuartal I 2022.

Deputi Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Bali, Diah Utari mengatakan ekonomi Bali saat ini sudah cukup pulih, khususnya untuk pariwisata. Total inbound atau wisatawan asing yang masuk Bali telah mencapai 1,1 juta orang sementara domestik sebesar 2,7 juta orang.

"Meski jumlah ini masih jauh dari masa sebelum pandemi tapi ini sudah mulai pulih, kita terus tingkatkan juga akses masuk ke Bali," katanya.

Saat ini, 86 negara sudah bisa menikmati visa on arrival di Bali. Jumlah penerbangan pun telah meningkat hingga 25 penerbangan, di atas ekspektasi pemerintah daerah.  Bali juga punya sejumlah kalender acara seperti G20 sehingga ekonominya terus pulih.

Diah menambahkan, pandemi ini memberikan pelajaran untuk tidak terlalu tergantung pada sektor pariwisata. Bali merancang transformasi ekonomi dengan memiliki prioritas pertumbuhan baru, yakni pertanian, kelautan, perikanan, pengolahan, UMKM, digital, dan pariwisata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement