REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Presiden Jokowi dan DPR disarankan untuk mempertimbangkan UU 2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia masuk dalam prioritas program legislasi nasional (prolegnas). Banyak kelemahan dalam UU ini, yang membuat polisi menjadi tidak profesional.
"UU ini disusun dalam suasana euforia reformasi. Banyak sekali kelemahan dalam UU ini yang perlu kita perbaiki disesuaikan dengan tahapan konsolidasi demokrasi kita,” kata Dradjad, Senin (3/10/2022).
Dalam ini soal fungsi perlindungan, pengayoman dan pelayanan, menurut Dradjad, sangat minim sekali pengaturannya. Jadi perlu diperkuat.
Demikian juga dengan masalah penggunaan senjata, perlu diatur rambu-rambunya. Karena soal senjata ini, polisi dengan tentara. Pasal 1 butir 21 UU 34/2004 tentang TNI secara tertulis eksplisit menyebut “tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas …”.
Sementara UU 2/2002 sama sekali tidak menyebut polisi “disiapkan dan dipersenjatai”. Karena itu, penggunaan senjata oleh jajaran Polri perlu rambu-rambu ketat. Utamanya masalah psikologi anggota. "Kita cukup sering membaca kasus penyalahgunaan senjata oleh oknum Polri, termasuk menembak mati sesama anggota,” kata Dradjad.
Contoh lain, Pasal 18 UU 2/2002. Bunyinya: Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Penjelasan dari pasal ini juga sangat longgar sehingga membuatnya menjadi “pasal karet”. Jelas kita perlu rambu-rambu terhadap pasal ini.
Intinya, kata Dradjad, profesionalisme Polri, dan juga tentunya TNI, sangatlah penting bagi bangsa. Jika benar-benar mencintai TNI dan Polri, masyarakat perlu turut andil meningkatkan profesionalisme keduanya, demi maju, aman dan adilnya NKRI yang kita cintai bersama.