Selasa 11 Oct 2022 08:50 WIB

Kurikulum Merdeka: Ideal atau Hanya Utopia?

Kurikulum Merdeka memang memberikan konsep yang ideal, tapi justru bisa jadi utopia.

Seorang guru mendampingi siswa siswinya saat belajar dan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka di dalam kelas pada hari pertama masuk sekolah. Kurikulum Merdeka memang memberikan konsep yang ideal, tapi justru bisa jadi utopia.
Foto: REPUBLIKA
Seorang guru mendampingi siswa siswinya saat belajar dan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka di dalam kelas pada hari pertama masuk sekolah. Kurikulum Merdeka memang memberikan konsep yang ideal, tapi justru bisa jadi utopia.

Oleh Bilal Ramadhan, wartawan Republika sekaligus guru dan juga pemerhati pendidikan

 

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa waktu lalu, Ratih, seorang guru SMA swasta di Rawamangun, Jakarta Timur mengeluhkan kurikulum baru yang diterapkan pemerintah sejak awal tahun 2022 lalu yaitu Kurikulum Merdeka. Meski kurikulum tersebut belum diwajibkan sekolah-sekolah untuk menerapkannya saat ini, Ratih sudah merasa tertekan dengan rencana penerapannya.

Ratih menyebutkan tentang kebingungan guru-guru terkait konsep kurikulum baru. Ratih juga sudah membayangkan pekerjaan ekstra yang akan dia hadapi dalam penerapannya. Dan yang membuat kekhawatirannya semakin bertambah, yaitu dia terancam tidak banyak mendapatkan kelas mengajar karena dia khawatir siswa tidak banyak yang akan memilih mata pelajaran yang diampunya.

Dalam Kurikulum Merdeka, ada kekhususan implementasinya, di mana siswa yang akan memilih sendiri mata pelajaran yang akan dipelajari di sekolah. Mata pelajaran yang dipilih ini yang akan mengembangkan minat dan bakat siswa.

Sebagai guru honorer di sekolah swasta, tentu saja jumlah kelas mengajar akan menentukan seberapa besar penghasilannya. Semakin banyak kelas yang diampunya, semakin bertambah penghasilannya. Sebaliknya, semakin sedikit kelas yang diampunya, maka berkuranglah penghasilannya. Kurikulum Merdeka dinilai tidak hanya menekan dia secara mental dan skill sebagai guru, tapi juga menekan penghasilannya.

Begitu juga dengan Wilda, salah satu guru di SMA Negeri di Jakarta Utara. Hingga kini pun, dia dan rekan-rekan gurunya masih meraba-raba dengan Kurikulum Merdeka yang diinginkan pemerintah. Dia mengakui dengan usia yang tidak lagi muda, kurikulum baru akan membutuhkan tenaga ekstra dalam implementasinya.

Kekhawatiran Ratih dan Wilda berawal dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim yang memperkenalkan Kurikulum Merdeka sejak awal 2022. Nadiem mengatakan, Kurikulum Merdeka yang merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar mampu mengurangi dampak hilangnya pembelajaran akibat pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 yang berjalan selama dua tahun ini membuat seluruh pembelajaran berjalan secara jarak jauh atau daring. Sistem pembelajaran ini dinilai menyebabkan learning loss yang besar terhadap para siswa.

Namun begitu, Nadiem meyakinkan, anak-anak tidak perlu lagi khawatir dengan tes kelulusan. Karena asesmen nasional yang digunakan tidak bertujuan menghukum guru atau siswa, tetapi sebagai bahan refleksi agar guru terus terdorong untuk belajar. Supaya kepala sekolah termotivasi untuk meningkatkan kualitas sekolahnya.

Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo juga mengatakan alasan Kemendikbudristek memfokuskan pada pengembangan kompetensi dasar dan karakter karena pendidikan di Indonesia sudah lama mengalami krisis belajar dan tidak membaik dari tahun ke tahun.

Dari data PISA (Programme for International Student Assessment) yang dia kutip, sampai 20 tahun terakhir menunjukkan kecakapan dasar seperti kemampuan memahami bacaan, kemampuan menyelesaikan problem menggunakan matematika sederhana dan kemampuan menalar secara ilmiah, hasilnya masih stagnan. Ternyata hanya sekitar 30 persen siswa kita yang memenuhi standar minimun kemampuan membaca, problem solving matematika dan literasi sains.

Menurut dia, Kurikulum Merdeka memiliki tiga kelebihan yang dapat mendukung pemulihan dari krisis belajar yaitu fokus pada materi esensial, pembelajaran berbasis pengembangan karakter dan soft skill, dan guru lebih fleksibel dalam melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid.

Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa serta memberi ruang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi. Program Merdeka Belajar hanya bisa terwujud jika program regulasi dan berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah mampu memantik transformasi di tiap-tiap satuan pendidikan.

Secara konsep dan ideologi, Kurikulum Merdeka memang sangat menjanjikan. Iming-iming kurikulum baru akan menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran juga seperti mimpi lama yang dihidupkan kembali. Setelah KTSP dan Kurikulum 2013 juga punya konsep yang utopis, kini Kurikulum Merdeka juga memberikan ‘janji-janji surga’-nya.

Karena konsep Kurikulum Merdeka sangat ‘out of the box’ dan anti mainstream dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, Kemendikbudristek perlu bekerja keras dalam menyosialisasikan konsep hingga penerapannya di sekolah. Karena jangan sampai, justru siswa yang lagi-lagi akan menjadi ‘korban’ di ujung penerapannya.

Seperti yang dialami Ratih dan Rochmah, kemungkinan juga akan dirasakan guru-guru lainnya, terutama di daerah-daerah. Guru di daerah kemungkinan masih berstatus honorer dan sekolah pun kembang kempis karena terletak di daerah 3T (terdepan, terpencil dan terbelakang). Alih-alih untuk melengkapi sekolah dengan sarana dan prasarana, bisa membayarkan gaji untuk guru-guru di sekolahnya pun sudah bagus. Itu pun juga kalau tidak kekurangan guru di sekolah-sekolah tersebut.

Ada sejumlah kendala yang akan dihadapi guru saat mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Tentunya yang utama adalah guru-guru pastinya tidak memiliki pengalaman dalam kemerdekaan belajar. Selama ini, guru lebih banyak sebagai ‘pemasok’ materi. Guru juga tidak banyak melibatkan siswa dalam pembelajaran.

Misalnya metode diskusi, berapa kali digunakan guru dalam 1 semester pembelajaran? Mungkin hanya bisa dihitung dengan jari. Apalagi dalam Kurikulum Merdeka, model pembelajaran yang digunakan di antaranya problem based learning dan project based learning.

Masalah kedua, guru tidak atau kurang memiliki referensi dalam memfasilitasi pembelajaran yang berpusat kepada siswa dengan efektif. Dalam hal ini, guru dituntut memiliki pengetahuan lebih, tidak hanya terkait mata pelajaran yang diampu, tetapi juga terkait isu-isu terkini yang sedang banyak dibicarakan atau viral di kalangan siswa.

Masalah selanjutnya, mengenai akses pembelajaran, dalam hal ini pembelajaran digital. Kelancaran pelaksanaan belajar secara daring pastinya ditentukan dari akses digital dan internet yang dimiliki guru dan siswa.

Selama pandemi Covid-19, hal ini menjadi masalah utama dalam proses pembelajaran jarak jauh atau daring. Apalagi sekolah di daerah-daerah yang belum dilengkapi dengan Wi-Fi serta siswa-siswa harus mencari lokasi yang mudah dalam mengakses internet, yang tidak jarang ada di pinggir jalan.

Kemudian, masalah waktu juga akan menjadi kendala bagi guru untuk mempelajarinya. Memang Nadiem tidak mewajibkan seluruh sekolah untuk menerapkan Kurikulum Merdeka di awal tahun ajaran 2022-2023.

Nadiem mengatakan tidak ada pemaksaan sekolah untuk menerapkan Kurikulum Merdeka dalam dua tahun ke depan. Artinya pada tahun ajaran baru 2024-2025, seluruh sekolah sudah menyelesaikan proses adaptasi dan wajib menerapkan Kurikulum Merdeka secara penuh.

Pertanyaannya, apakah sekolah dan guru memiliki waktu yang cukup dalam beradaptasi dengan kurikulum baru. Saat ini yang terjadi, sekolah-sekolah cenderung memaksakan untuk menerapkan kurikulum baru demi citra sekolah. Sekolah seolah memiliki pride lebih jika mencantumkan telah menerapkan Kurikulum Merdeka plus menjadi Sekolah Penggerak dengan sebagian besar guru telah menjadi Guru Penggerak.

Persoalan lainnya, skill guru dalam menguasai kebutuhan belajar di era digital. Contoh sederhana, membuat presentasi mengajar yang menarik. Menggunakan komputer atau laptop saja mungkin baru digunakan dalam dua tahun terakhir selama pandemi Covid-19, apalagi untuk membuat presentasi yang menarik mata para siswanya. Selama ini, guru selalu terpaku menjelaskan materi di papan tulis. Bukan bagaimana menyiapkan diri untuk mengajar daring.

Padahal, untuk melaksanakan merdeka belajar guru dituntut untuk kreatif dan inovatif dengan melibatkan berbagai media atau model pembelajaran yang mendorong siswa. Kompetensi yang masih minim ini juga menjadi kendala guru dapat menjalankan merdeka belajar dengan cepat.

Beberapa waktu lalu, saya sempat berbincang dengan dosen pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga aktivis pendidikan, Dirgantara Wicaksono. Dia kerap memberikan seminar pendidikan, termasuk sosialisasi terkait Kurikulum Merdeka ke sekolah di daerah-daerah.

Dia mengakui kendala dalam implementasi Kurikulum Merdeka, bagaimana mengubah mental dan juga mindset dari guru-guru di sekolah. Kurikulum Merdeka memberikan tantangan kepada guru-guru untuk meng-update pengentahuannya.

Tak hanya itu, guru-guru juga harus aktif dan update terkait isu-isu terkini agar bisa menjadi inspirasi siswa dalam membuat proyeknya. Guru juga dituntut untuk kreatif dalam proses pembelajaran sehingga siswa merasa dilibatkan dan minat-bakatnya pun tersalurkan.

Tantangan dan tuntutan ini justru kemudian dianggap menjadi beban bagi guru yang selama ini sudah berada di zona nyaman dalam pembelajaran. Guru cenderung ‘malas’ untuk belajar lagi, baik dalam hal mengembangkan pengetahuannya, belajar media digital hingga sekadar membaca berita terkait kasus-kasus terkini yang bisa menjadi bahan mengajar tambahan untuk siswa.

Dalam konferensi tahunan HighScope Indonesia ke-12 yang mengusung tema “Empowering Future-Ready Citizens with Concepts, Skills, and Values” beberapa waktu lalu, pakar pendidikan berbasis nilai Dr Neil Hawkes juga mendorong para guru untuk tidak hanya menjadi pendidik tetapi juga menjadi motivator bagi siswanya. Karena guru juga bisa menjadi sosok yang menginspirasi siswa dalam perjalanan hidupnya.

Oleh karena itu, seorang guru tidak hanya menjadi seorang pendidik, tetapi juga motivator bahkan komentator sosial. Guru juga dituntut tidak memberikan materi tapi juga sebagai teman diskusi dari isu-isu sosial yang sedang viral, tak melulu soal materi pelajaran saja.

Dengan berbagai permasalahan tersebut, saya justru mengkhawatirkan penerapan Kurikulum Merdeka hanya menjadi sebuah formalitas belaka, hanya untuk sekadar ‘image’ bagi sekolah untuk laporan pertanggungjawaban kepada Kemendikbudristek. Yang pada akhirnya, siswa lagi-lagi akan menjadi ‘korban’ dari sekolah. Alih-alih untuk mengembangkan minat dan bakatnya, siswa malah akan jadi ‘sasaran’ proyek-proyek ‘pencitraan’ sekolah.

Saya pernah mendengarkan cerita dari rekan guru yang mengajar di sebuah SMA Negeri di Cibinong, Kabupaten Bogor. Dia bercerita sekolahnya sedang dalam proses penerapan Kurikulum Merdeka. Yang lebih menarik lagi, sekolahnya juga sudah membuat proyek-proyek sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila.

Sekolahnya telah membuat beberapa proyek seperti sejumlah tarian tradisional yang diikuti kelompok dalam kelas yang sama. Selain itu, juga ada nyanyian lagu-lagu daerah serta membuat kerajinan yang bertema nasionalisme. Rekan saya begitu bangga memperlihatkan foto-foto dari proyek tersebut beserta dengan guru-guru dan kepala sekolahnya yang ikut foto dengan kelompok-kelompok siswa tersebut.

Nah, kembali kepada tujuan ‘mulia’ dari Kurikulum Merdeka, pertanyaannya adalah apakah proyek-proyek tersebut sungguh-sungguh merupakan pengembangan minat dan bakat siswa atau pengembangan program sekolah? Apakah proyek-proyek itu, siswa sendiri yang memilih tema dan medium proyeknya atau sekolah dan guru yang memilihkannya? Dan yang lebih penting lagi, apakah proyek-proyek itu sungguh-sungguh merupakan proses yang dilakukan siswa sendiri, bukan diarahkan pihak sekolah maupun gurunya?

Ada juga sebuah SMP Negeri di Gunung Sindur, juga di Kabupaten Bogor, yang siswa-siswanya telah membuat proyek dalam dua tahun terakhir. Siswa-siswa di sekolah tersebut, membuat proyek berdasarkan kearifan lokal, memanfaatkan potensi dan kebutuhan di lingkungan sekitarnya.

Misalnya ada seorang siswa yang membuat pakan ternak dari jagung. Ada juga siswa yang menciptakan lagu berbahasa Sunda dan dinyanyikan dalam bentuk band. Bahkan sesederhana, proyek peta yang dibuat siswa, yang menginformasikan titik-titik jalan rusak di sekitar sekolahnya.

Kurikulum Merdeka memang sangat menjanjikan. Kurikulum Merdeka juga bisa mengembangkan minat dan bakat siswa. Kurikulum Merdeka juga menantang guru untuk ke luar dari zona nyaman. Tinggal bagaimana pelaksanaannya di lapangan yang akan menentukan hasil akhirnya. Kita mau maju atau tetap diam di tempat.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement