Rabu 19 Oct 2022 23:37 WIB

Penyaluran BLT Migor Disebut Dampak Lonjakan Harga CPO

Saksi sebut penyaluran BLT Migor untuk atasi dampak lonjakan harga CPO.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bayu Hermawan
Sidang kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor, Jakarta Pusat (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sidang kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor, Jakarta Pusat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat (PN Tipikor Jakpus) merembet ke persoalan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp 6 triliun. Kebijakan itu disebut Jaksa menjadi kerugian negara yang disebabkan para eksportir CPO lebih memilih melakukan ekspor. 

Dalam kesaksiannya di persidangan, Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kemensos Mira Riyanti Kurniasih mengakui, harga minyak goreng (migor) di pasar domestik yang tinggi kala itu tak terlepas dari tingginya harga minyak sawit dunia di pasar internasional. Untuk meringankan beban masyarakat, sesuai arahan Presiden tanggal 1 April 2022, pemerintah pun memutuskan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) yang akan diberikan kepada 20,5 juta KPM, penerima bantuan pangan non tunai, dan penerima program keluarga harapan.

Baca Juga

"Seperti itu. Sudah dimulai dari April (2022) kami realisasikan BLT untuk migor," kata Mira dalam persidangan pada Selasa (18/10). 

Mira menjelaskan anggaran untuk BLT sendiri diambil dari pos anggaran bansos secara umum yang memang sudah dialokasikan dalam APBN sejak November 2021.

"Sebenarnya itu diambil dari anggaran kami. Kami kan punya angggaran bansos, sejak November 2021. Dianggarkan untuk program reguler. Kami ini, sebelum ada BLT migor, sesuai tugas dan fungsi kemensos memang punya program BPNT dan program keluarga Harapan. Seperti itu," ujar Mira. 

Mira memastikan tidak anggaran khusus yang secara dadakan diadakan untuk BLT migor.  "Jadi saat itu kami gunakan anggaran yang ada dulu untuk menindaklanjuti arahan presiden," ucap Mira. 

Terkait nilai BLT Rp300 ribu dalam 3 bulan, Mira menjelaskan, BLT tersebut tidak khusus ditujukan hanya untuk membeli migor, tapi juga kebutuhan pokok yang lain karena terimbas inflasi pangan dari migor.

"Sebelumnya mereka sudah mendapatkan program BPNT (bantuan pangan non tunai), tetapi dirasakan kurang, maka itu ditambahkan. Terkait program tadi, istilahnya BLT Migor," ucap Mira. 

Tercatat, Kementerian Keuangan memutuskan menambah jumlah penerima BLT minyak goreng menjadi 20,65 juta dari sebelumnya 20,5 juta penerima. Adapun penerima 20,65 juta ini berasal dari data termutakhir penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan bansos pangan yang tercatat di Kemensos. 

BLT migor juga diberikan kepada Pedagang Kaki Lima Warung (PKLW) yang berjumlah 2,5 juta penerima. Sehingga total penerima BLT minyak goreng menjadi 23,25 juta orang.

Adapun anggaran yang disiapkan sebesar Rp 6,2 triliun untuk yang ada di bawah Kemensos dan Rp 750 miliar untuk penerima PKLW. Dengan demikian total anggarannya menjadi 6,95 triliun. 

Dalam kasus ini JPU menjerat mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indra Sari Wisnu Wardhana, mantan tim asistensi Menko Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley Ma; dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang. Mereka diduga memperkaya beberapa perusahaan hingga merugikan negara Rp18,3 triliun. 

JPU mendakwa Indra, Lin Che Wei, Master, Stanley, dan Pierre melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. 

Sebelumnya, di samping kerugian keuangan Negara, dalam kasus ini jaksa juga mendalilkan kerugian perekonomian negara sebesar Rp12,31 triliun yang juga diatribusi kepada tiga grup perusahaan dengan jumlah yang berbeda. Nilai kerugian ini merupakan hasil kajian dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada tanggal 15 Juli 2022 yang dihitung selama periode 15 Februari sampai 30 Maret 2022.

"Pertanyaannya adalah sejauh mana validitas hasil kajian ini. Menarik untuk diuji di pengadilan, sebelum dijadikan referensi untuk menentukan kerugian perekonomian negara," kata Praktisi Hukum, Hotman Sitorus beberapa waktu lalu. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement