REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sedang menyusun draf Percepatan Swasembada Gula yang menuai banyak kritik karena memberikan kuota impor gula kepada badan usaha. Dalam rancangan Perpres Percepatan Swasembada Gula, ditargetkan Indonesia akan swasembada gula konsumsi pada 2025 dan gula rafinasi pada 2030.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, jika dalam rancangan aturan tersebut memuat impor gula, hendaknya menjadi perhatian masyarakat. Apalagi, kebijakan tersebut dikeluarkan di periode tahun politik seperti saat ini hingga 2024.
“Ini sebenarnya penyakit lama. Setiap tahun-tahun politik hampir semua komiditas impornya melonjak, termasuk gula. Baik itu pilkada bahkan sampai pemilu, karena (impor) ini uang yang sangat besar yang bisa digunakan untuk membiayai pemilu atau pilkada,” ungkap Agus, dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Rabu (19/10/2022).
Agus mengatakan, untuk menjaga agar penetapan kuota impor gula dari kecurangan alias hanya digunakan untuk membiayai kegiatan politik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai masyarakat bisa melihat neraca komoditas. Dengan neraca tersebut, bisa diketahui berapa besar kebutuhan gula nasional.
“Dengan neraca komoditi ini kan kelihatan, kebutuhan gula nasional itu berapa, berapa produksinya dan kalau kurang berapa impor yang dibutuhkan, jadi benar-benar Presiden dan para menteri bisa melihat, kalau kuotanya ditetapkan berlebih kan bisa kelihatan, itu kuota sebesar itu mau diapakan sisanya? mau dilempar kemana sisanya, jangan sampai ke pasar becek yang bikin petani rugi,” ungkapnya.
Sementara itu, Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai, aturan terkait gula dari hulu hingga hilir, dari Undang-Undang Cipta Kerja hingga Peraturan Menteri Perdagagan, Perindustrian hingga Pertanian, semuanya punya aturan sendiri-sendiri terkait gula nasional. Namun, target swasembada gula tidak kunjung tercapai bertahun-tahun lamanya.
“Peraturan soal pergulaaan di Indonesia ini sudah sangat banyak sekali, bahkan over regulated. Kebanyakan dari Undang-Undang Perkebunan 2004 lalu direvisi 2014 dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ada PP nya juga, belum lagi kemenperin keluarin aturan, Kemendag, Kementan semuanya mengeluarkan aturan, sebentara lagi rencananya ada Perpres percepatan swasembeda gula, terlalu banyak aturan dan target swasembada tidak kunjung tercapai,” ungkap Khudori.
Selain itu, rencana Perpres Percepatan Swasembada yang akan dikeluarkan pemerintah dengan target swasembada gula konsumsi pada 2025 dan swasembada gula rafinasi 2030, terlalu mengada-ada. Pasalnya, tidak ada langkah teknis dan tahapan per tahapan untuk mencapai target tersebut, sementara yang paling ditekankan dalam Perpres tersebut hanya impor gula.
“Contoh target swasembada gula rafinasi? Langkah-langkahnya apa? Di Perpres itu hanya ngomongin PTPN ditugaskan nambah area perkebunan, bentuk anak usaha yang bisa patungan dengan investor," ujarnya.
Kondisinya, lanjut dia, 11 pabrik gula rafinasi di Indonesia itu semuanya milik swasta, tidak ada yang BUMN, di Perpres itu tidak ada melibatkan mereka (swasta). "Lalu mau nambah produksi gula rafinasi, dari mana lahan kebunnya, karena 11 pabrik gula rafinasi itu adanya didekat pelabuhan, panen gulanya di pelabuhan yang artinya sejak awal di bangun, pabrik-pabrik ini memang untuk panen gula impor,” ungkapnya.
Anggota Komisi VI DPR, Herman Khaeron mengungkapkan, target swasembada gula telah dicanangkan sejak lama. Namun, tidak kunjung tercapat akibat tidak adanya keseriusan dari pemerintah salah satunya terkait penambahan area lahan perkebunan tebu.
"Dari dulu seperti itu, dulu ada program swasembada Pajale, padi, jagung dan kedelai, tapi lahannya itu-itu saja tidak ada niatan serius menambah lahan yang hasilnya antar satu komoditas saling beradu," ujarnya.
"Kedelai produksinya naik, tapi pakai lahan padi. Akibatnya, produktivitas beras turun, jagung produksi naik tapi pakai lahan kedelai, akibatnya kedelai produksinya turun lalu impor untuk nutup kebutuhan," ungkap Herman.
Bahkan, Herman mengkritik, rencana pemerintah yang akan mengeluarkan aturan Peraturan Presiden tentang Percepatan Swasembada Gula. Namun justru memberikan kuota impor gula kristal putih (GKP) dan/atau gula kristal mentah (raw sugar) khusus kepada PTPN III.
"Swasembada kok impor, logikanya dari mana?," ucap dia.
Kalau tujuannya, mereka dapat kuota impor misal 100 ribu ton, maka keuntungannya besar. Keuntungan yang dihasilkan itu, kata dia, bisa untuk menambah lahan tebu, lahan tebu nya diperluas, lahannya di mana kalaupun itu harus dilakukan.
"Itu akan membuat lahan pertanian lain yang digunakan, alih fungsi lahan, yang saya bilang tadi di awal. Nanti tebu-nya naik, jagungnya anjlok, kedelainya anjlok, berasnya yang anjlok, masalah lagi kan," ucapnya.
"Di sini kami lihat tidak ada keseriusan. Kemarin ramai buat food estate, sudah bertahun-tahun toh food estate-nya tidak ada yang berhasil. Ada lagi buat food estate luas di Kalimantan pun sampai sekarang tidak ada efeknya sebagaimana yang diharapkan," tandas Herman.