REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik sekaligus dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menantang Kepala Staf Presiden Moeldoko untuk debat terbuka tentang radikalisme.
Ubedilah melontarkan tantangan itu usai Moeldoko menyebut radikalisme akan meningkat pada 2023 dan 2024 akibat politik identitas jelang Pemilu 2024.
"Pak Moeldoko itu enggak ngerti. Saya tantang ya, saya menantang Pak Moeldoko diskusi soal politik identitas dan radikalisme," kata Ubed kepada wartawan di Jakarta, Jumat (21/10).
"Debat terbuka boleh, diskusi terbuka boleh. Saya tantang Pak Moeldoko (karena) kalau dia prediksi begitu, itu memperburuk suasana," imbuhnya.
Ubed menjelaskan, dirinya berani berdebat bukan hanya karena Moeldoko tidak paham soal radikalisme, melainkan juga karena mantan Panglima TNI itu tak punya bukti empirik.
"Pak Moeldoko atau pemerintah mengatakan ada kampus-kampus radikal ya kan. Saya bertanya, ada nggak mahasiswa jadi teroris, ada nggak? Terus sekolah-sekolah radikal, pelajar ada nggak jadi teroris?" ujar dosen Sosiologi UNJ itu.
Menurutnya, jika pemerintah menyebut ada banyak orang-orang radikal, lantas mengapa tidak ditangkap saja atas tuduhan teroris. Karena itu, Ubed menilai Moeldoko hanya membuat sebuah narasi untuk membangun imajinasi publik tentang radikalisme.
Terkait politik identitas, Ubed juga mempertanyakan tafsir Moeldoko. Sebab, terminologi politik identitas itu sangat multitafsir. "Apakah setiap orang tidak boleh punya identitas dalam politik," kata pria lulusan program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) itu.
Ubed pun menyarankan agar pemerintah tidak lagi menghembuskan narasi politik identitas. Dia meyakini ketika pemerintah berhenti bicara soal politik identitas, maka politik identitas itu juga berhenti. "Semakin pemerintah berbicara, narasi itu akan semakin liar," katanya.
Sebelumnya, Moeldoko menyebut radikalisme akan meningkat jelang Pemilu 2024. Prediksinya itu mengacu kepada hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Survei BNPT pada 2020 potensi radikalisme 14 persen. Itu data dalam kondisi anomali saat pandemi. Tahun politik pada 2023-2024 ada kecenderungan meningkat," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Menurut Moeldoko, radikalisme akan meningkat karena dinamika politik. Pemicu lainya adalah kemunculan politik identitas jelang Pemilu 2024.